Selasa 11 Oct 2022 18:18 WIB

Tinggi Biaya Politik dalam Jebakan Demokrasi Prosedural

Maju dan mundur demokrasi tergantung mereka yang duduk di lembaga politik.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Muhammad Fakhruddin
Tinggi Biaya Politik dalam Jebakan Demokrasi Prosedural (ilustrasi).
Foto: pixabay
Tinggi Biaya Politik dalam Jebakan Demokrasi Prosedural (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Jubir Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mohamad Kholid mengatakan, saat ini Indonesia terjebak konsep demokrasi prosedural. Pelaksanaan pilkada mencapai angka 500an tiap periode, belum lagi pemilihan gubernur, legislatif dan pilpres.

Ia melihat, semangat kita kepada pemilu sungguh luar biasa, terjebak demokrasi prosedural tapi lupa substansial. Bagaimana meningkatkan pendapatan perkapita, Human Development Index, kebebasan dan good governance mengalami kemunduran.

Baca Juga

"Agenda besar kita ke depan mengambil titik keseimbangan ini," kata Kholid dalam diskusi bertema Election Corner yang bertajuk, Mengembalikan Politik Programatik di Pemilu 2024 yang digelar di Ruang Auditorium Fisipol UGM, Senin (10/10).

Kholid turut mengkritisi calon pemimpin saat ini, yang jika ingin maju pilkada,  pileg, memakai survei sebagai metodologi penelitian berbasis ilmu pengetahuan. Namun, saat terpilih, tidak memakai pengetahuan untuk menyejahterakan rakyatnya.

"Menggunakan pengetahuan lewat survei untuk bisa memenangkan dan merebut kekuasaan. Namun, saat terpilih jadi pemimpin ia tidak menggunakan ilmu pengetahuan untuk memajukan daerahnya," ujar Kholid.

Anggota DPR RI dari Nasdem, Willy Aditya menambahkan, maju dan mundur demokrasi tergantung mereka yang duduk di lembaga politik dan pemerintahan. Seharusnya, diisi mereka yang memiliki ideologi, berintegritas dan memiliki pengetahuan.

Hari ini, ia melihat, kepala daerah dan anggota legislatif kebanyakan merupakan pengusaha. Willy berpendapat, kampus seharusnya ikut andil. Sebab, politik kita kering karena ideolog entah ke mana, pemikir tidak mau terjun ke dunia praktis. "Kampus tetap di menara gading dan dunia politik semakin banal," kata Willy.

Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto berpendapat, ongkos politik yang dikeluarkan tiap caleg dan calon kepala daerah besar. Untuk menekan ongkos politik yang mahal itu , sebaiknya diubah dalam bentuk pemilihan legislatif proporsional tertutup.

Sedangkan, untuk pemilihan presiden dan wakil presiden tetap dipilih secara langsung, kepala daerah dipilih oleh DPRD. Gubernur itu seharusnya kepanjangan dari pemerintah pusat dan gubernur dipilih DPRD. Lalu, ada pilkada asimetris. "Partai politik menyiapkan masing-masing calon pemimpinnya," ujar Hasto.

Ia melihat, dampak yang ditimbulkan dari besarnya ongkos politik setiap pilkada membuat calon kepala daerah terbebani, hingga menggandeng sponsor atau investor politik. Kini, calon kepada daerah tanpa sponsor dan investor tidak bisa jadi.

"Kecuali, memiliki partai politik yang memiliki kekuatan untuk memenangkan dirinya," kata Hasto. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement