Sabtu 08 Oct 2022 04:19 WIB

Tragedi Kanjuruhan dan Rendahnya Budaya Malu Bangsa Kita

Pemimpin bangsa ini harus belajar malu atas kasus Kanjuruhan

Sejumlah kendaraan melintas di bawah lokasi Aksi Gantung Syal Aremania di jembatan penyeberangan jalan Ahmad Yani, Malang, Jawa Timur, Jumat (7/10/2022). Aksi tersebut dilakukan suporter Arema FC (Aremania) sebagai bentuk ungkapan duka sekaligus penyampaian tuntutan agar tragedi Kanjuruhan diusut tuntas.
Foto: ANTARA/Ari Bowo Sucipto
Sejumlah kendaraan melintas di bawah lokasi Aksi Gantung Syal Aremania di jembatan penyeberangan jalan Ahmad Yani, Malang, Jawa Timur, Jumat (7/10/2022). Aksi tersebut dilakukan suporter Arema FC (Aremania) sebagai bentuk ungkapan duka sekaligus penyampaian tuntutan agar tragedi Kanjuruhan diusut tuntas.

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Pendiri Sabang Merauke Circle.

Aremania, klub suporter Arema FC, telah mensomasi Presiden Jokowi, Kapolri, Ketum PSSI, Panglima TNI, Menpora, DPR RI, PT. LIB (Liga Indonesia Baru), Direktur LIB dan panpel kompetisi sepakbola di Kanjuruhan Malang lalu, paska tragedi Kanjuruhan. Seminggu lalu, 1/10, kita mengenang tragedi besar dalam sejarah persepakbolaan kita, sebuah pembantaian brutal terhadap supporter sepakbola.

Catatan kematian terakhir adalah 131 jiwa, diantaranya puluhan anak-anak dan wanita. Dari sembilan somasi Aremania, kita akan membahas poin pertama, yakni permintaan maaf dari Presiden, Ketua Umum PSSI, Kapolri, Panglima TNI, dan lainnya. Poin permintaan maaf adalah poin budaya, bukan soal apakah pihak yang dituju terkait langsung, melainkan sebuah pertanggungjawaban moral, khususnya ketika kejadian ini adalah persoalan nasional dan bahkan internasional, jadi kita bukan hanya sekedar mencari kambing hitam.

Permintaan maaf terutama ditujukan pada ketua PSSI. Sebab, nitizan dan masyarakat meyakini bahwa PSSI lah simbolik identitas persepakbolaan kita. 

Permintaan maaf dari Iwan Bule (Mochammad Iriawan, ketua umum PSSI) sebenarnya sudah dia sampaikan pada Minggu 2/10/2022 lalu. Namun, kenapa masyarakat tetap tidak puas dan tetap masih meminta Iwan Bule meminta maaf? Bahkan suara itu terus menggema di media sosial? 

Untuk Iwan Bule ini, sebenarnya permintaan maaf yang diinginkan masyarakat, khususnya nitizen, bukan sekedar minta maaf saja, melainkan minta maaf yang disertai rasa bersalah, malu dan lalu mengundurkan diri dari ketua umum PSSI. Sebab, di Indonesia permintaan maaf seringkali hanya merupakan "lip service", tanpa makna.

Dalam berbagai media, disebutkan Iwan Bule tidak terima dengan permintaan nitizen agar dia mengundurkan diri, bahkan katanya dia harus terus menjabat sebagai bentuk tanggung jawab. Dengan demikian, menurutnya, dia justru harus mengaudit kenapa kerusuhan itu terjadi. Dan dia juga merasa tidak terlibat dalam tataran teknis pelaksanaan pertandingan, khususnya urusan pengamanan, antara Arema FC dan Persebaya itu. 

Sesungguhnya, permintaan mundur pada Iwan Bule bukan saja dari nitizan, yang dalam petisi change.org saja sudah mencapai 32.000 orang, melainkan banyak pihak, baik ketua Bonek (supporter Surabaya), Barnis (Relawan Anies), pengurus PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), dan tokoh-tokoh persepakbolaan. 

Sebenarnya bagaimana mengukur kejadian Kanjuruhan tersebut dengan sebuah pernyataan maaf yang serius? Apakah permintaan supporter Arema FC terlalu mengada-ada?

Untuk itu kita harus melihat bagaimana standar moral elit kita dalam sebuah insiden yang bersifat menggegerkan atau dengan magnitute yang sangat besar. Kita mulai dari membandingkan dengan Korea Selatan. Mengapa Korea, karena bangsa ini masuk dalam rumpun "Shame Culture", bukan "Guilt Culture", seperti Jepang, Ras China dan juga Indonesia. Dalam " The Shame Culture ", David Broke, The New York Times, 15/3/2016, mengatakan bahwasanya seseorang sangat takut mengalami " Social exclusion", apalagi di era media sosial saat ini

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement