Jumat 07 Oct 2022 12:10 WIB

Rumah Bersejarah Baghdad Runtuh Saat Real Estate Bangkit

Rumah besar Irak berusia 100 tahun berdiri bobrok dan tidak terurus.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Esthi Maharani
Kekacauan politik selama beberapa dekade, pengabaian, melonjaknya harga real estat, dan kurangnya dana telah berdampak pada bangunan-bangunan yang merupakan bagian dari arsitektur masa lalu Irak
Kekacauan politik selama beberapa dekade, pengabaian, melonjaknya harga real estat, dan kurangnya dana telah berdampak pada bangunan-bangunan yang merupakan bagian dari arsitektur masa lalu Irak

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Menghadap ke sungai Tigris di Baghdad, sebuah rumah besar Irak berusia 100 tahun berdiri bobrok dan tidak terurus. Pengunjung yang berharap untuk melihat sekilas kejayaannya yang memudar diperingatkan oleh tanda di dekat pintu yang mengatakan "Bahaya runtuh".

Bangunan 16 kamar ini dulunya memiliki jendela berkisi, ukiran halus, balkon, dan halaman dalam yang dipenuhi pohon buah-buahan. Sekarang, seperti banyak dari sekitar 2.500 rumah bersejarah yang tersisa di Baghdad, rumah itu hancur berantakan.

Kekacauan politik selama beberapa dekade, pengabaian, melonjaknya harga real estate, dan kurangnya dana telah berdampak pada bangunan-bangunan yang merupakan bagian dari arsitektur masa lalu kota itu. "Ini adalah salah satu rumah warisan terpenting yang tersisa," kata anggota pendiri Inisiatif Burj Babel yang bekerja untuk melestarikan sejarah budaya ibukota Irak Dhikra Sarsam.

Salah satu pemilik, insinyur sipil, dan konsultan Faiz Falih al-Qassab mengatakan, dibangun sekitar satu abad yang lalu, rumah itu dibiarkan rusak selama bertahun-tahun. Dia menjelaskan, daerah di mana rumah itu berada dipilih sebagai tempat untuk gedung opera di bawah mantan presiden Saddam Hussein dan hingga 2015. Tidak ada renovasi yang diizinkan selama waktu itu, tetapi gedung opera tidak pernah dibangun.

"Sekarang sudah terlambat untuk merenovasi," kata al-Qassab dari rumahnya di negara tetangga Yordania, tempat menyimpan perabot lama yang diselamatkan dari rumahnya di Baghdad.

Dari rumah yang bersebelahan dengan rumah bersejarah milik Qassab, Sarsam bekerja untuk meningkatkan kesadaran akan perlunya melestarikan Baghdad tua. Pemilik bangunan yang terdaftar tidak diperbolehkan untuk menghancurkannya dan pemerintah dapat memberikan pinjaman atau hibah untuk renovasi. Namun, Sarsam menyatakan, pemerintah tidak berkomitmen untuk ini saat ini.

"Sayangnya tidak ada anggaran yang dialokasikan untuk mendukung pemilik," kata kepala media dan hubungan masyarakat di Walikota Baghdad Mohammed al-Rubaye.

Dengan bantuan UNESCO, pemerintah tahun lalu merenovasi jalan al-Mutanabbi, sebuah landmark Baghdad yang ramai dengan penjual buku dan seniman. Namun, gang perumahan di dekatnya dipenuhi dengan rumah-rumah yang runtuh dan "shanasheel" atau balkon tradisional dengan hiasan kayu telah berantakan.

Rubaye menyatakan, untuk menghindari larangan menghancurkan bangunan yang terdaftar, pemilik terkadang membanjiri atau membakarnya. Motifnya jelas, harga real estat Baghdad tinggi dan menjual tanah untuk pengembangan menguntungkan.

Stabilitas relatif di Baghdad dalam beberapa tahun terakhir dan pemulihan harga minyak sejak pecahnya pandemi Covid-19 pad 2020 telah memberikan latar belakang positif bagi pasar real estat di kota tersebut. Sarsam terkadang menerima telepon dari tetangga yang khawatir tentang potensi pembongkaran dan bergegas ke lokasi.

Saat Sarsam berjalan melewati reruntuhan rumah tahun 1930-an di jalan Abu Nawas Baghdad, yang membentang di sepanjang tepi timur Sungai Tigris, dia menunjuk pada jejak api yang menggelapkan dinding interiornya yang runtuh. "Itu pasti tidak runtuh dengan sendirinya," kata Sarsam.

Setelah Sarsam menghubungi pihak berwenang, mereka menghentikan pembongkaran dan menutup gedung. Namun nasibnya masih belum pasti. "Ini adalah kerugian besar bagi sejarah Baghdad. Dengan setiap rumah runtuh, Baghdad juga kehilangan sebagian identitasnya," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement