Jumat 07 Oct 2022 07:43 WIB

Akademisi Papua Sarankan Penanganan Kasus Lukas Enembe Harus Hati-Hati

Jangan sampai masyarakat Papua memiliki kesimpulan sendiri tentang kasus Lukas.

Massa aksi yang tergabung dalam Front Rakyat dan Mahasiswa Papua saat menggelar aksi di kawasan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (6/10/2022). Dalam aksinya mereka menilai penetapan tersangka Gubernur Papua Lukas Enembe oleh KPK sarat akan tujuan politik serta sebagai upaya kriminalisasi terhadap Gubernur Papua, Sementara KPK menetapkan Lukas Enembe sebagai tersangka terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi dugaan suap dan  dan gratifikasi terkait proyek yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinis Papua. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Massa aksi yang tergabung dalam Front Rakyat dan Mahasiswa Papua saat menggelar aksi di kawasan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (6/10/2022). Dalam aksinya mereka menilai penetapan tersangka Gubernur Papua Lukas Enembe oleh KPK sarat akan tujuan politik serta sebagai upaya kriminalisasi terhadap Gubernur Papua, Sementara KPK menetapkan Lukas Enembe sebagai tersangka terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi dugaan suap dan dan gratifikasi terkait proyek yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinis Papua. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akademisi Universitas Cenderawasih (Uncen) Papua mengingatkan agar penanganan kasus Gubernur Papua Lukas Enembe harus berhati-hati. Alasannya, sebagai pejabat publik orang nomor satu di provinsi itu pernah trauma dan sakit hati sehingga tidak percaya kepada negara.

"Tak hanya hanya kasus Lukas Enembe tetapi kasus para bupati lainnya di Papua harus ditangani secara khusus," kata akademisi Universitas Cenderawasih (Uncen) Papua Laus Deo Calvin Rumayom, Kamis (7/10/2022).

Baca Juga

Karena itu, jelasnya, jika terjadi kasus korupsi seperti ini, maka harus dijelaskan kepada masyarakat, bahwa kasus ini tidak ada hubungannya dengan soal pelanggaran HAM. Tetapi murni kasus penyalahgunaan kewenangan.

Ketua Analisis Papua Strategis ini menjelaskan, kalau yang digaungkan misalnya jemput paksa, atau narasi-narasi tanpa penjelasan yang lebih spesifik, maka masyarakat akan mempunyai kesimpulan sendiri-sendiri. Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga harus menjelaskan apa masalahnya sehingga tidak bisa menangkap atau menahan Lukas Enembe, apakah karena masalah keamanan atau soal alat bukti yang belum cukup.

"Persoalan Gubernur Papua ini adalah persoalan kita. Kita tidak boleh biarkan Bapak Lukas sendiri, tidak boleh biarkan Pemerintah Provinsi Papua ini sendiri, tidak boleh biarkan KPK bergerak sendiri, TNI-Polri bergerak sendiri," jelasnya.

Dia melihat ada pelajaran berharga yang dapat dipetik dari peristiwa itu, yakni melahirkan sebuah konsep pembangunan Papua dengan satu perspektif baru. Yaitu pendekatan antropologis, pendekatan filosofis, pendekatan partisipatif dan keterlibatan secara bersama-sama.

Dia berharap Gubernur Lukas Enembe dapat mengikuti jejak Nelson Mandela yang menjadi contoh bagi negara-negara demokrasi di dunia. Nelson Mandela setelah 27 tahun mendekam dalam penjara, ia tetap menyerukan perdamaian dan pengampunan bagi lawan-lawan politiknya.

Nelson Mandela dikenang sebagai tokoh politik yang berani memberikan pengampunan kepada Apartheid. Karena dengan pengampunan itulah, tambahnya, Afrika Selatan kini menjadi bangsa yang besar, bangsa yang dihargai, bangsa yang bermartabat.

"Gubernur Papua sebagai pemimpin Papua harus bisa mengampuni dirinya sendiri, mengampuni rakyatnya, mengampuni pihak-pihak yang menghakimi dirinya. Karena dengan mengampuni, ia akan mendapatkan pahalanya, mendapatkan apa yang menjadi haknya," kata Laus.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement