Jumat 30 Sep 2022 18:19 WIB

Pelemahan Rupiah, Pasar Diminta tidak Panik

Penguatan dolar AS yang sangat ekstrim saat ini di luar ekspektasi The Fed.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Nidia Zuraya
Petugas menunjukkan uang rupiah dan dolar AS di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta. ilustrasi
Foto: Prayogi/Republika.
Petugas menunjukkan uang rupiah dan dolar AS di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelemahan Rupiah terhadap dolar AS terus terjadi. Ekonom Institute of Social, Economic and Digital (ISED), Ryan Kiryanto mengatakan saat ini memang terjadi fenomena superstrong YS Dollar sebagai dampak kenaikan fed fund rate (FFR) yang sangat agresif oleh The Fed.

"Yang melemah bukan hanya rupiah, tapi juga mata uang kuat dunia lainnya, misalnya poundsterling, euro, yuan dan yen," kata dia pada Republika, Jumat (30/9/2022).

Baca Juga

Menurut Ryan, penguatan dolar AS yang sangat ekstrim saat ini sebetulnya di luar ekspektasi The Fed. Hal ini karena kenaikan FFR untuk menurunkan laju inflasi AS yg sempat menyentuh 9,1 persen per Juni 2022.

Apresiasi dolar AS yang sangat tajam sejatinya juga tidak dikehendaki oleh pemerintah AS karena akan menurunkan atau melemahkan daya saing produk AS di pasar global. Harga barang ekspor buatan AS menjadi sangat mahal atau tidak kompetitif dibandingkan harga barang ekspor buatan negara-negara lain.

Oleh karena itu, sejumlah bank sentral melakukan intevensi pasar atau operasi moneter pasar di pasar uang domestiknya untuk menstabilkan mata uangnya. Hal ini juga dilakukan oleh BI dari salah satu strategi triple intervention-nya.

"Langkah ini benar dan harus dilakukan untuk menahan pelemahan mata uangnya," katanya.

Ia menilai strategi triple intervention BI memang cukup efektif untuk menahan posisi rupiah agar tidak terus melemah. Strategi ini berhasil karena Rupiah berada di kisaran Rp 15 ribu per dolar AS.

Kenaikan BI rate 50 bps menjadi 4,25 persen juga diharapkan bisa menahan pemilik dana untuk tetap memegang aset dalam rupiah. Ia meyakini strategi ini efektif untuk menstabilkan kurs Rupiah karena didukung fundamental ekonomi RI yang baik dan stabil.

"Jadi sesungguhnya pelemahan mata uang regional, termasuk rupiah, yang terjadi akhir-akhir ini merupakan reaksi yang berlebihan atau over reactive karena dipicu kepanikan yang tidak mendasar dari sebagian pelaku pasar," katanya.

Sehingga menurutnya, ini bukan karena faktor fundamental ekonomi. Ia yakin begitu orkestrasi kenaikan suku bunga acuan di bank-bank sentral lain seperti Fed, BoE, BoJ, dan EXB berhenti, maka posisi dolar AS akan kembali normal dan mata uang lainnya, termasuk rupiah, akan kembali menguat dan stabil kembali normal.

Ia menyarankan pelaku pasar untuk tidak panik dan tenang tanpa terlalu menghiraukan kericuhan serta hoax. Hal ini karena fundamental ekonomi Indonesia dinilai cukup kuat dan perlu terus dipantau.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement