Jumat 30 Sep 2022 00:54 WIB

Siapkan 'Win-Win Solution' agar Tak Terjadi Gempa Massal Honorer

Situasi yang terjadi saat ini adalah masyarakat ingin mendapatkan keadilan.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Agus Yulianto
Sejumlah tenaga kesehatan honorer menggelar unjuk rasa menuntut kepastian status mereka. (Ilustrasi)
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Sejumlah tenaga kesehatan honorer menggelar unjuk rasa menuntut kepastian status mereka. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi II DPR RI, Mardani Ali Sera, mengatakan, harus ada terobosan dan keberanian yang membuat keputusan yang win-win solution untuk menyelesaikan permasalahan tenaga honorer. Dia menyebut, penghapusan tenaga honorer itu dengan istilah gempa masal November 2023.

“Kami akan berembug bersama, memutuskan political will agar kalau saya menyebutnya, gempa masal November 2023, di mana tidak ada lagi honorer bisa kita hindari, bisa kita dapatkan win-win solution," ujar Mardani lewat keterangannya, Kamis (29/9/2022).

Mardani mengatakan, situasi yang terjadi saat ini adalah masyarakat ingin mendapatkan keadilan untuk bekerja, pemerintah daerah perlu orang untuk melayani, pemerintah pusat perlu untuk menjaga negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) stabil. Untuk itu, menurut dia, diperlukan terobosan dan keberanian dalam membuat keputusan yang dapat menguntungkan semua pihak.

"Harus ada terobosan dan keberanian yang membuat keputusan yang win-win solution," kata dia.

Mardani optimistis, persoalan tenaga honorer dapat diselesaikan apabila semua pihak mau berendah hati dan berkolaborasi, termasuk Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dengan Kementerian PPN/Bappenas, walaupun nantinya beban terberat tetap ada di presiden. Kebijakan tidak ada honorer di tahun 2023 perlu dicermati dengan kondisi lapangan.

Dia memberikan, contoh kasus di Semarang. Di mana ditemukan persyaratan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) masih ada persyaratan ijazah, padahal beberapa pemerintah daerah (pemda) memerlukan beberapa tenaga honorer yang kadang-kadang tidak ada sekolahnya, tapi ada kemampuannya seperti tukang sapu, sopir, dan pembantu umum.

"Antara persyaratan dengan kebutuhan tidak nyambung. Kami tetap berprinsip kalau kita bisa menyelesaikan detail-detail kondisi rekrutmen, maka kita akan bisa dapat yang pas," ujar dia. 

"Artinya, dapat tenaga yang bagus kualitasnya, saat yang sama pemerintah pusat harus mengambil keberanian dengan political will biaya-in mereka yang diterima,” katanya lagi.

Semua itu dia sampaikan seusai Kunjungan Kerja Spesifik Komisi II DPR RI terkait evaluasi tenaga kerja honorer di Kabupaten Semarang. Pada kesempatan itu dia mendapati, Kabupaten Semarang memiliki sejumlah permasalahan.

Pertama, dari 7.194 orang ASN yang ada, hampir lima puluh persennya telah memasuki usia lebih dari 50 tahun dan akan pensiun. Kemudian juga sebanyak 4.804 tenaga honorer yang ada, yang memenuhi syarat untuk dapat diangkat menjadi PPPK hanya 2.238 orang saja.

“Yang akhirnya masyarakat ingin semangat tapi pemdanya berat, karena APBD-nya berat, DAU-nya nggak bertambah. Sehingga buat kami ini masukkan yang sangat berharga agar kedepannya kebijakan itu betul-betul empiris bukan cuma akademis,” tutur dia.

Mardani pun berharap, dalam waktu sebelum November 2023, pada saat pengangkatan ASN dan PPPK yang baru, perubahan dari persyaratan untuk tenaga honorer sudah bisa dilakukan. “Karena itu mudah kok, karena dia peringkatnya PP, maka antara teman-teman (Kementerian) PAN-RB, Kemendagri, Kemenkumham, mungkin Bappenas bisa berembug segera dan putuskan segera. Kami Komisi II akan full mengawasi,” ucapnya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement