Sabtu 24 Sep 2022 00:10 WIB

Jepang akan Longgarkan Aturan COVID-19 di Perbatasan

Pelonggaran perbatasan penting untuk memulihkan sektor pariwisata Jepang.

 Pengunjung mengenakan masker pelindung untuk membantu mengekang penyebaran virus corona berjalan-jalan di Kuil Sensoji di distrik Asakusa di Tokyo, pada Selasa, 30 November 2021. Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida pada Kamis mengatakan negaranya akan melonggarkan aturan pengendalian COVID-19 di perbatasan bulan depan.
Foto: AP/Koji Sasahara
Pengunjung mengenakan masker pelindung untuk membantu mengekang penyebaran virus corona berjalan-jalan di Kuil Sensoji di distrik Asakusa di Tokyo, pada Selasa, 30 November 2021. Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida pada Kamis mengatakan negaranya akan melonggarkan aturan pengendalian COVID-19 di perbatasan bulan depan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida pada Kamis mengatakan negaranya akan melonggarkan aturan pengendalian COVID-19 di perbatasan bulan depan. Kebijakan itu dinilai sebagai langkah penting untuk membantu pemulihan sektor pariwisata Jepang dengan memanfaatkan penurunan nilai tukar yen yang mencapai titik terendah dalam 24 tahun.

Negara itu telah menerapkan kendali perbatasan paling ketat di antara negara-negara maju lainnya dengan melarang masuk pengunjung sejak awal pandemi. Pada Juni, pemerintah Jepang mulai melonggarkan pembatasan itu secara bertahap.

Baca Juga

Pengumuman Kishida itu, yang disampaikan dalam pidato di Bursa Efek New York pada Kamis, adalah realisasi janji yang dia buat pada Mei. Saat itu dia mengatakan bahwa Jepang akan membuat kendali perbatasannya sejalan dengan negara-negara Kelompok Tujuh (G7) lainnya.

"Kami adalah bangsa yang telah berkembang melalui arus bebas manusia, barang dan modal," kata Kishida.

"COVID-19, tentu saja, mengganggu semua keuntungan ini, tetapi mulai 11 Oktober, Jepang akan melonggarkan aturan pengendalian perbatasan agar setara dengan AS, juga melanjutkan (kebijakan) perjalanan bebas visa dan perjalanan individu," kata dia.

Kebijakan Jepang yang bersikeras agar pengunjung mendapatkan visa untuk masuk ke negara itu dan datang lewat paket perjalanan yang telah direncanakan, telah menjadi hambatan besar.

Sebelum pandemi, Jepang memiliki perjanjian bebas visa dengan hampir 70 negara, termasuk Amerika Serikat, Uni Eropa, dan banyak negara Asia. 

Para pelobi bisnis dan agen perjalanan telah mendesak Jepang untuk melonggarkan kendali perbatasannya lebih cepat. Mereka mengatakan Jepang ditinggalkan oleh mitra-mitra dagang utamanya dan hal itu dapat membuatnya tertinggal secara ekonomi.

"Kita akan melihat dampak yang signifikan terhadap ekonomi," kata Shinichi Inoue, presiden maskapai All Nippon Airways, kepada pers, Jumat.

Dia menambahkan bahwa penurunan tajam nilai tukar yen terhadap dolar AS adalah "daya tarik yang sangat besar" bagi warga negara asing. Mata uang Jepang melemah hingga menembus batas psikologis 145 yen per dolar pada Kamis, yang membuat ongkos perjalanan ke negara itu mencapai titik terendah dalam beberapa dekade.

Mulai 11 Oktober, Jepang akan memulihkan perjalanan wisata individu dan bebas visa bagi pengunjung dari negara-negara tertentu selama mereka telah divaksinasi.

Pada saat yang sama, negara itu juga akan mencabut batasan jumlah pengunjung per hari, yang kini sebanyak 50.000 orang. Jepang kemungkinan juga akan merevisi regulasi yang memungkinkan hotel menolak tamu yang tidak menaati pencegahan infeksi, seperti memakai masker, jika terjadi lonjakan kasus, kata media lokal.

Jepang pada Juni secara resmi membolehkan turis masuk untuk pertama kalinya dalam dua tahun, tetapi pada Juli hanya ada sekitar 8.000 kedatangan. Sebelum pandemi, negara itu mencatat lebih dari 80.000 pengunjung per hari.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement