Jumat 23 Sep 2022 11:54 WIB

Pengamat Paparkan Mengapa Kendaraan Listrik Besar atau Niaga Sulit Diproduksi

Kendaraan bertonase besar saat ini belum siap beralih ke elektrifikasi.

Keberadaan kendaraan listrik masih menjadi sarana transportasi yang baru bagi mayoritas masyarakat. Untuk itu perlu edukasi lebih lanjut terkait kendaraan listrik ini. Mulai dari pengenalan tentang kendaraan listrik hingga penggunaan dan perawatannya sehari hari.
Foto: istimewa
Keberadaan kendaraan listrik masih menjadi sarana transportasi yang baru bagi mayoritas masyarakat. Untuk itu perlu edukasi lebih lanjut terkait kendaraan listrik ini. Mulai dari pengenalan tentang kendaraan listrik hingga penggunaan dan perawatannya sehari hari.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat otomotif dan akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Pasaribu membagikan pendapatnya terkait harga kendaraan listrik di segmen besar atau niaga yang masih cenderung tinggi. Akibat tingginya harga transisi dan produksinya pun belum semasif mobil segmen menengah.

"Kendaraan bertonase besar, apalagi untuk kebutuhan logistik belum siap untuk beralih ke elektrifikasi di waktu dekat ini, mengingat masih mahalnya harga baterai disamping bobotnya yang cukup berat. Sehingga, belum dapat mencapai tingkat keekonomian dalam pengoperasiannya," kata Yannes, Jumat (23/9/2022).

Baca Juga

Lebih lanjut, ia memberikan gambaran. Harga baterai lithium per KWh-nya di luar packing dan setting serta casing saat ini sekitar 160 dolar AS. "Jadi jika untuk mobilitasnya sebuah truk besar memerlukan baterai berkapasitas 400 KWh makan untuk baterai saja sudah membutuhkan biaya sekitar Rp 960 juta. Jelas tidak ekonomis," kata Yannes.

"Lalu, berat baterai per KWh berkisar 5-7 kilogram (tergantung teknologi dan produsennya), maka untuk 400 KWh akan menghasilkan berat baterai saja 2 sampai 2,8 ton yang harus dibawa truk, di luar beban barang yang harus diangkut. Jelas akan mengurangi daya angkut barangnya hanya gara-gara terus menggendong baterai yang berat sekali," imbuhnya.

Adapun alasan lainnya adalah terkait jumlah populasi kendaraan niaga dalam negeri hanya sekitar 1 persen dari jumlah total populasi 149,7 juta lebih kendaraan bermotor yang ada di Indonesia. Sehingga, lanjut dia, konsentrasi pengembangan baterai kendaraan listrik (battery electric vehicle/BEV) jangka menengah secara strategis tentunya lebih pas ditujukan pada kendaraan penumpang roda empat dan roda dua yang populasinya paling besar.

Bicara soal kendaraan penumpang roda empat, harga untuk mobil listrik di Indonesia pun masih cenderung tinggi jika dibandingkan dengan daya beli masyarakat yang berkisar di angka Rp 200 juta-Rp 300 jutaan. Saat ini, hanya terdapat satu pilihan mobil kompak dengan dua pintu dan empat kursi yang berada di kisaran angka tersebut.

Namun, Yannes berpendapat bahwa mobil listrik kompak nantinya akan menjadi pilihan yang lebih diminati daripada segmen favorit selama ini seperti SUV dan LMPV, menyusul permasalahan perkotaan yang berada di depan mata.

"Di banyak kota besar, parkir untuk kendaraan yang berdimensi panjang semakin lama semakin sulit akibat meningkatkan jumlah kendaraan berbanding dengan lahan parkir yang semakin terbatas. Jelas secara utilitas mobil berdimensi kecil lah yang paling mampu menjawab permasalahan tersebut," kata dia.

Selain itu, segmentasi masyarakat Indonesia yang sudah mendekati karakteristik konsep dari desain futuristik dan kompak pun dinilai merupakan kelompok pasar generasi millenial yang mengembangkan aktivitas hidup dan kerjanya di perkotaan. Kelompok ini dinilai telah memiliki kesadaran akan pentingnya berkontribusi dalam mengurangi polusi udara.

"Serta, berkeinginan untuk memiliki mobil pertama kendaraan yang berteknologi terbaru, desain yang futuristik dan dapat merepresentasikan jati diri mereka. Namun, masih memiliki penghasilan yang belum begitu besar," ujar Yannes.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement