Jumat 23 Sep 2022 02:30 WIB

Pemecatan Sambo dari Polri Berpotensi Digugat ke PTUN

Keputusan PTDH terhadap Sambo itu, secara hukum memang bagian dari objek TUN.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Agus Yulianto
Kuasa hukum dari Putri Candrawathi, Arman Hanis (tengah) berjalan masuk untuk mendampingi kliennya yang akan diperiksa oleh tim penyidik Bareskrim Mabes Polri di Jakarta.
Foto: ANTARA/Reno Esnir
Kuasa hukum dari Putri Candrawathi, Arman Hanis (tengah) berjalan masuk untuk mendampingi kliennya yang akan diperiksa oleh tim penyidik Bareskrim Mabes Polri di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tersangka Ferdy Sambo (FS) belum menentukan langkah hukum untuk ‘melawan’ putusan pemecatan terhadap mantan Kadiv Propam itu dari Polri. Pengacara Arman Hanis mengatakan, pilihan hukum, masih terbuka untuk menguji kesahihan keputusan dari Komisi Kode Etik Polri (KKEP) itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). 

Arman mengatakan, salinan putusan KKEP banding belum di tangan Sambo. Kata dia, akan ada komunikasi lanjutan dengan kliennya itu, untuk menentukan sikap apakah akan mengajukan gugatan ke PTUN, atau tidak. 

“Terkait putusan banding (KKEP), salinannya belum kami terima. Setelah putusannya kami terima, kami akan pelajari, apa pertimbangannya. Setelah itu, kami akan menentukan langkah hukum sesuai hak-hak kami dalam perundang-undangan,” begitu kata Arman saat dihubungi Republika, dari Jakarta, Kamis (22/9).

Ferdy Sambo salah satu tersangka dalam kasus pembunuhan berencana ajudannya, Brigadir Yoshua Hutabarat (J). Jenderal polisi bintang dua itu, juga ditetapkan tersangka dalam tindak pidana obstruction of justice, perintangan dan penghalang-halangan penyidikan kematian Brigadir J. 

Terkait status hukum tersebut, dua kali sidang KKEP memutuskan untuk memecat Sambo dari kepolisian. Sidang KKEP pertama, Jumat (26/8) memutuskan untuk memberhentikan Sambo dengan tidak hormat dari kepolisian, atau PTDH.

Atas putusan KKEP pertama itu, Sambo menyatakan, tak terima, dan mengajukan banding. Pada Senin (19/9) KKEP banding menguatkan putusan KKEP pertama, dengan tetap memecat Sambo dengan kepangkatan terakhir sebagai Inspektur Jenderal (Irjen). 

“Memutuskan; menolak permohonan banding pemohon (Sambo). Menguatkan putusan sidang KKEP sebelumnya,” begitu putusan KKEP banding yang dibacakan Kepala Irwasum Polri Komisaris Jenderal (Komjen) Agung Budi Maryoto di Mabes Polri, Jakarta, Senin (19/9).

Komjen Agung dalam putusan etik tingkat kedua itu, juga menyatakan, Sambo sebagai anggota Polri yang melakukan pelanggaran berat, dan perbuatan tercela. Sehingga, dinilai pantas untuk disanksi disiplin tegas, berupa pemecatan. 

“Komisi banding menjatuhkan sanksi etika berupa pelanggaran terhadap pelanggar (Sambo), dinyatakan sebagai perbuatan tercela. Dan sanksi administratif, berupa Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH atau pecat) sebagai anggota Polri,” sambung Komjen Agung.

Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan, putusan PTDH dari KKEP terhadap Sambo merupakan produk hukum internal di kepolisian. Namun putusan tersebut merupakan bagian dari keputusan tata usaha negara (TUN) terhadap perorangan, sebagai subjek hukum. Karena itu Bambang mengatakan, secara konstitusional, Sambo masih memiliki hak mengajukan gugatan hukum ke Pengadilan TUN atas keputusan PTDH tersebut.

“Setelah keputusan (PTDH) itu dikeluarkan, maka secara undang-undang itu menjadi keputusan tata usaha negara. Dan secara hak (konstitusional), Sambo masih berpeluang untuk menggugat ke PTUN. Peluang itu ada,” kata Bambang saat dihubungi Republika, dari Jakarta, Kamis (22/9). 

Meskipun, Bambang mengatakan, gugatan PTUN tersebut belum dilakukan oleh Sambo. Akan tetapi, Bambang meminta, agar Polri, bersiap diri memperkuat alasan hukum, dan menutup semua celah cacat hukum dalam keputusan PTDH oleh KKEP terhadap Sambo.

Bambang menilai, keputusan pemecatan terhadap Sambo, memang sudah jitu dan tepat. Keputusan PTDH tersebut, Bambang nilai bentuk konsistensi, dan komitmen Polri untuk menjaga integritas institusi. Pun mengantisipasi penurunan kepercayaan publik terhadap Polri. 

Akan tetapi dalam gugatan PTUN, kata Bambang, yang akan diuji adalah soal prosedur, dan administrasi atas keputusan pemecatan tersebut. Meskipun Bambang melihat, keputusan PTDH tersebut sudah sesuai prosuder dengan KKEP yang mengakomodir kemauan banding oleh Sambo.

“Tetapi gugatan PTUN itu bisa dijadikan Sambo untuk mengulur-ulur waktu keputusan pemecatannya itu. Dan itu kita harapkan agar Polri siap, dan kita berharap juga, kalau itu nanti terjadi (gugatan PTUN) agar hakim PTUN juga nggak melempem, dan bisa menolaknya,” kata Bambang menambahkan. 

Karena, menurut Bambang, jika gugatan PTUN tersebut dilakukan, dan Pengadilan TUN mengabulkan, besar peluang, Sambo membalikkan keadaan dengan kembali berseragam jenderal polisi. “Jadi Polri juga harus waspada dengan langkah-langkah yang kemungkinan bisa dilakukan Sambo ini,” kata Bambang.

Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan, keputusan PTDH terhadap Sambo itu, secara hukum memang bagian dari objek TUN. Pun dapat diuji kepastian hukumnya di PTUN. 

Akan tetapi, institusinya siap dengan segala kemungkinan perlawanan hukum yang dilakukan Sambo terkait pemecatannya. Termasuk jika Sambo, kata Dedi, memilih untuk melawan keputusan KKEP itu dengan menggugat ke PTUN.

“Untuk pengajuan gugatan ke PTUN, itu hak konstitusional setiap warga negara. Tetapi tentunya dari Biro Wabprof (Pengawasan, Pembinaan, Profesi) dan Divkum (Divisi Hukum) Polri, sudah siap dengan langkah-langkah itu,” kata Dedi, Kamis (22/9). 

Namun begitu, Dedi menegaskan, keputusan KKEP banding yang tetap menghukum Sambo dengan pemecatan, sudah final, dan mengikat. “Harus diingat, bahwa keputusan KKEP banding itu sudah final, dan mengikat. Dan tidak ada upaya hukum lagi,” ujar Dedi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement