Kamis 22 Sep 2022 12:32 WIB

DPR: Backlog Perumahan tidak Dapat Diatasi dengan Kebijakan Biasa

Pemerintah agar tetap mengedepankan komunikasi yang baik dengan seluruh stakeholder.

Foto udara pembangunan perumahan bersubsidi di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Jumat (2/9/2022). Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengalokasikan program pembiayaan perumahan pada tahun 2023 dengan total anggaran Rp34,17 triliun untuk 274.924 unit guna mendukung pemilikan rumah bagi masyarakat.
Foto: ANTARA/Mohamad Hamzah
Foto udara pembangunan perumahan bersubsidi di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Jumat (2/9/2022). Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengalokasikan program pembiayaan perumahan pada tahun 2023 dengan total anggaran Rp34,17 triliun untuk 274.924 unit guna mendukung pemilikan rumah bagi masyarakat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pemerintah memiliki pekerjaan rumah (PR) yang belum tuntas untuk dapat mengatasi tingginya kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan (backlog) perumahan di Indonesia. Masalah backlog tidak akan dapat diselesaikan dengan kebijakan yang biasa-biasa saja. 

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2020, angka backlog kepemilikan perumahan mencapai 12,75 juta. Jumlah itu belum termasuk penambahan keluarga baru yang diperkirakan mencapai 800 ribu unit per tahun.

Baca Juga

"Kami kira perlu terobosan kebijakan yang lebih menyeluruh dan aplikatif dari pemerintah," kata Wakil Ketua Komisi V DPR-RI, Ridwan Bae kepada wartawan, dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Wartawan Perumahan Rakyat (Forwapera), Selasa (20/9/2022). Sehingga, dapat diterapkan di lapangan untuk tetap menjaga pasokan rumah dan juga keterjangkauan masyarakat dalam memiliki rumah layak huni. "Artinya, jika tidak segera diatasi dengan cara yang benar maka angka backlog logikanya akan terus membengkak," kata legislator dari Partai Golkar itu.

Ridwan mendorong pemerintah agar tetap mengedepankan komunikasi yang baik dengan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) perumahan. Baik kalangan perbankan, pengembang swasta, Perumnas dan juga media massa untuk mencari solusi terhadap berbagai kendala penyediaan rumah rakyat di lapangan sehingga masalah backlog dapat teratasi optimal. 

Pihaknya menerima banyak laporan jika saat ini pasokan rumah termasuk untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) terkendala akibat adanya beberapa hambatan perizinan. Seperti aturan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) sebagai pengganti Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan penetapan Lahan Sawah Dilindung (LSD). "Pemerintah perlu berkomitmen untuk memastikan program pembangunan rumah bersubsidi ini berjalan dengan baik," tegasnya. 

Berbagai hambatan yang ada baik dari sisi suplai maupun sisi permintaan jangan dibiarkan saja, tetapi segera diselesaikan. Harus diingat bahwa memiliki rumah layak adalah hak asasi setiap warga negara.

Pengamat Hukum Properti yang juga Ketua Umum Konsorsium Nasional Perumahan Rakyat (Kornas-Pera), Muhammad Joni, menilai sangat penting pemerintah untuk segera menyelesaikan hambatan dan jalan terjal yang masih terjadi dalam penyediaan rumah khususnya untuk MBR. Berbagai kendala yang masih terjadi seperti PBG, LSD, kuota dan harga rumah subsidi bisa terjadi karena kebijakan yang tidak sinkron. Dia meminta ada target waktu untuk penyelesaian hambatan dalam penyediaan perumahan tersebut. "Segera bereskan terutama PBG dan LSD ini. Kita akan terus monitor. Jangan ada hambatan dalam penyediaan perumahan, karena perumahan ini tanggungjawab pemerintah," katanya.

Pengamat Perumahan Anton Sitorus menekankan bahwa masalah perumahan adalah hal fundamental dan kebutuhan asasi manusia. Namun sayang, apa yang pemerintah lakukan selama ini dalam penyediaan perumahan masih jauh dari harapan. Begitu banyak masalah klasik yang terus muncul terutama dalam hal perizinan seperti PBG dan LSD. Penyediaan perumahan bagi masyarakat luas di Indonesia perlu dilakukan melalui program yang serius dan ambisius terutama oleh negara. Oleh karenanya, tidak bisa dikerjakan dalam lembaga yang memiliki fokus ganda. 

Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida yang dihubungi wartawan mengatakan PBG memang perlu segera dicarikan solusinya. Pasalnya, saat ini ada keengganan pemerintah daerah (Pemda) untuk menerbitkan PBG.

Hal itu disebabkan aturan PBG ini diatur UU, yakni Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang memerintahkan Pemda mengeluarkan PBG lewat peraturan daerah (Perda). "Pemda tetap tidak berani mengeluarkan PBG hanya dengan Retribusi IMB saja, jadi tetap alasannya tunggu Perdanya. Butuh intervensi kuat dari pemerintah pusat dan Komisi V DPR RI untuk menuntaskan kendala perizinan yang sudah setahun ini terjadi," kata Totok.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement