Rabu 21 Sep 2022 16:21 WIB

Isu Jokowi Cawapres, Para Syndicate: Ada Sindrome Jokowi

Publik dinilai perlu menyuarakan calon presiden alternatif.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Agus raharjo
Presiden Jokowi
Foto: ANTARA/Sigid Kurniawan
Presiden Jokowi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Para Syndicate, Ari Nurcahyo, menilai kemunculan sejumlah isu yang ingin agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali berkuasa dimunculkan oleh loyalis di lingkaran Jokowi yang merasa nyaman dengan kekuasaan. Ari menyebutnya sindrome Jokowi.

"Sindrome Jokowi, dua tahun pemerintahan Jokowi dalam banyak hal cukup baik dan nyaman dengan semua plus minusnya. Sampai pada kondisi, baik itu loyalis, rakyat, pemilih, dihadapkan pada kondisi kenyamanan, zona nyaman ingin supaya posisi Pak Jokowi melanggengkan Pak Jokowi. Bagaimana melestarikan Pak Jokowi. Entah itu dengan isu capres tiga periode, entah itu dengan pemilu, atau sebagai cawapres," kata Ari dalam diskusi bertajuk 'Jokowi Wapres VS Capres-Cawapres Alternatif', yang dipantau daring Rabu (21/9/2022)

Baca Juga

Menurut Ari Sindromen Jokowi tidak hanya berdampak pada Jokowi melainkan sosok capres lain yang diasosiasikan mirip dengan Jokowi. Salah satunya yang terjebak dalam sindrome Jokowi adalah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

"Saya pikir kemunculan misalnya figur kuat dalam beberapa survei misalnya Ganjar Pranowo itu bagian dari Jokowi syndrome ini, karena image Pak Ganjar seakan-akan Ganjar Pranowo merupakan mirorring dari Pak Jokowi. kebetulan dari gesture-nya sama, sama-sama orang Jawa Tengah, juga dari rakyat, suka blusukan, style-nya mirip dengan Pak Jokowi," ujarnya.

Menurutnya hal tersebut bisa berdampak positif dan negatif bagi Ganjar. Ganjar bisa dianggap sebagai sosok pemimpin yang sama seperi Jokowi, namun di sisi lain Ganjar tidak bisa tampil secara orisinal. "Saya melihat ada gejala syndrome Jokowi," ujarnya.

Selain itu Ari juga melihat adanya syndrome survei. Pasalnya semua hasil survei hanya menempatkan tiga capres seperti Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan.

"Kami mengusulkan syndrome survey ini sekan satu sisi nama-nama itu saja yang muncul, pada sisi lain ada semacam kejumutan, atau stagnasi elektabilitas, toh elektabilitasnya sekitar 25 (persen), 30 persen, tidak bergerak dari situ, tokohnya itu-itu saja," ujarnya,

Oleh karena itu publik perlu menyuarakan capres alternatif. Hal tersebut agar nama-nama tersebut bisa ditangkap partai politik sebagai kandidat Pilpres 2024.

Peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, Aqidatul Izza Zain, mengatakan capres cawapres alternatif harus merupakan kader partai. Sebab konstitusi mengatur seseorang bisa menjadi capres dan cawapres melalui partai politik, diusung partai politik atau gabungan partai poltiik yang memenuhi ambang batas presiden 20 persen.

"Sehingga capres alternatif bisa dikatakan dia alternatif ketika, satu dia bukan hanya mempertimbangkan variabel populer, tetapi dia juga memiliki visi program dan juga lair dari proses demokrasi internal partai politik yang sah," kata Aqidatul.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement