Rabu 21 Sep 2022 13:46 WIB

China Bersedia Reunifikasi Damai dengan Taiwan

China bersedia melakukan upaya terbesar untuk mencapai penyatuan kembali secara damai

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Friska Yolandha
Dalam foto yang disediakan oleh Angkatan Laut AS ini, kapal perusak berpeluru kendali USS Higgins (DDG 76) melakukan transit rutin di Selat Taiwan pada 20 September 2022. China mengurangi retorikanya di Taiwan pada Rabu, 21 September, dengan mengatakan bahwa tidak dapat dihindari bahwa pulau yang berpemerintahan sendiri itu berada di bawah kendalinya tetapi akan mendorong upaya untuk mencapainya secara damai. Komentar itu muncul satu hari setelah angkatan laut AS dan Kanada berlayar melalui selat antara China dan Taiwan.
Foto: Mass Communication Specialist 1st Class Donav
Dalam foto yang disediakan oleh Angkatan Laut AS ini, kapal perusak berpeluru kendali USS Higgins (DDG 76) melakukan transit rutin di Selat Taiwan pada 20 September 2022. China mengurangi retorikanya di Taiwan pada Rabu, 21 September, dengan mengatakan bahwa tidak dapat dihindari bahwa pulau yang berpemerintahan sendiri itu berada di bawah kendalinya tetapi akan mendorong upaya untuk mencapainya secara damai. Komentar itu muncul satu hari setelah angkatan laut AS dan Kanada berlayar melalui selat antara China dan Taiwan.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- China bersedia melakukan upaya maksimal untuk mengupayakan reunifikasi atau penyatuan kembali dengan Taiwan secara damai. Juru bicara Kantor Urusan Taiwan China, Ma Xiaoguang, mengatakan, China bersedia melakukan upaya terbesar untuk mencapai penyatuan kembali secara damai. 

"Tanah Air harus dipersatukan kembali dan pasti akan dipersatukan kembali. Tekad China untuk melindungi wilayahnya tidak tergoyahkan," ujar Ma.

Baca Juga

China telah mengusulkan model "satu negara, dua sistem" untuk Taiwan. Sistem ini serupa dengan Hong Kong yang merupakan bekas jajahan Inggris dan dikembalikan ke pemerintah China pada 1997.

Ma mengatakan, Taiwan dapat memiliki sistem sosial yang berbeda dari China daratan untuk memastikan bahwa cara hidup mereka dihormati, termasuk kebebasan beragama. Tetapi ada prasyarat untuk memastikan kedaulatan nasional, keamanan, dan kepentingan pembangunan.  

Menurut jajak pendapat, semua partai politik utama Taiwan telah menolak proposal yang diusulkan Beijing. Terutama setelah Beijing memberlakukan undang-undang keamanan nasional di Hong Kong pada 2020, setelah kota itu diguncang oleh aksi protes anti-pemerintah dan anti-China yang terkadang disertai kekerasan.  

China juga tidak pernah meninggalkan penggunaan kekuatan untuk membawa Taiwan di bawah kendalinya. Pada 2005, China mengesahkan undang-undang yang memberikan dasar hukum untuk melakukan tindakan militer terhadap Taiwan, jika mereka memisahkan diri atau mencoba untuk melakukannya.  

China telah menolak untuk berbicara dengan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen sejak dia pertama kali menjabat pada 2016. China memiliki keyakinan bahwa Tsai adalah seorang separatis. Dia telah berulang kali menawarkan untuk berbicara atas dasar kesetaraan dan saling menghormati. 

Namun, pendahulu Tsai, Ma Ying-jeou mengadakan pertemuan penting dengan Presiden China Xi Jinping di Singapura pada 2015. kepala Departemen Penelitian di Kantor Kerja Taiwan, Qiu Kaiming, mengatakan pertemuan Xi dan Ma menunjukkan fleksibilitas strategis mereka terhadap Taiwan.

"Itu menunjukkan kepada dunia bahwa orang-orang China di kedua sisi Selat benar-benar bijaksana dan cukup mampu memecahkan masalah kita sendiri," ujar Qiu.

China mengeklaim Taiwan, yang diperintah secara demokratis, sebagai bagian dari wilayahnya. Pemerintah Taiwan menolak klaim kedaulatan China. Taiwan mengatakan, hanya penduduk mereka yang dapat memutuskan masa depan negara. China telah melakukan latihan militer secara intensif di dekat Taiwan sejak awal bulan lalu, terutama setelah Ketua House of Representative AS, Nancy Pelosi mengunjungi Taipei.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement