Selasa 20 Sep 2022 10:04 WIB

Habis Tiga Periode Muncullah Wacana Jokowi Jadi Cawapres

Jangan mendorong-dorong Jokowi jdi cawapres.

Presiden Jokowi kembali diusik dengan isu jabatan. Foto ilustrasi
Foto: ANTARA/Sigid Kurniawan
Presiden Jokowi kembali diusik dengan isu jabatan. Foto ilustrasi

Oleh : Bayu Hermawan, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Jelang tahun 2024, suhu sosial politik mulai meningkat. Salah satu penyebabnya terkait kebijakan pemerintah yang menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Selain itu, ada pula isu tentang presiden yang telah menjabat selama dua periode masih diperbolehkan maju sebagai cawapres. Isu ini pun kemudian dikaitkan dengan mengusung Presiden Jokowi untuk maju sebagai cawapres di Pilpres 2024 mendatang.

Isu ini bergulir dari pernyataan Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono. Menurutnya, dalam Undang-Undang Dasar 1945 hanya mengatur batasan pencapresan dua periode, namun tidak ada batasan mantan presiden mencalonkan diri sebagai wakil presiden. "Kalau itu secara normatif boleh saja. Tidak ada larangan, tapi urusannya jadi soal etika politik saja menurut saya," kata Fajar waktu itu.

MK kemudian menegaskan pernyataan Fajar Laksono adalah pernyataan pribadi, bukan sikap resmi lembaga atau putusan MK, serta tidak berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan MK.

Jika pernyataan itu sifatnya pribadi tentu tidak ada yang salah. Mungkin Fajar Laksono menilai Jokowi sebagai pemimpin yang sukses dalam dua periode ini. Namun sebaiknya pernyataan itu tidak disampaikan. Ada beberapa pertimbangan pernyataan itu tidak disampaikan.

Pertama, mayoritas masyarakat Indonesia tidak setuju dengan perpanjangan atau penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Memang, yang disampaikan Fajar adalah jabatan wapres, tetapi ada nama Jokowi di sana. Publik yang tak setuju bakal menangkap pernyataan Fajar merupakan alternatif untuk memperpanjang atau melanggengkan kekuasaan.

Dampaknya bisa seperti ketika wacana tiga periode bergulir. Jokowi yang bakal jadi sasaran pikiran negatif publik. Apalagi Fajar adalah juru bicara MK, yang akan mendorong publik curiga  ada 'udang di balik batu’.

Kondisi ini tentu tidak baik buat Jokowi. Padahal saat ini Jokowi butuh konsentrasi untuk bekerja, namun terus menerus diganggu dengan isu-isu soal jabatan. Untungnya Jokowi segera menegaskan jika dirinya masih tetap sama, patuh pada konstitusi serta tidak berminat dengan hal-hal semacam itu.

"Kalau dari saya, saya terangkan, kalau bukan dari saya, saya ndak mau terangkan. Itu saja, terima kasih. Sejak awal saya sampaikan bahwa ini yang menyiapkan bukan saya, urusan tiga periode sudah saya jawab, begitu dijawab muncul lagi yang namanya perpanjangan, juga saya jawab ini muncul lagi jadi wapres, itu dari siapa?" kata Jokowi.

Kedua, jika Jokowi terpilih menjadi wapres di Pilpres 2024 maka akan berpotensi menimbulkan masalah konstitusional. Seperti diketahui, soal masa jabatan presiden dan wapres diatur dalam UUD 1945 Pasal 7 dan Pasal 8. Memang, tidak ada yang secara eksplisit menyatakan presiden yang sudah dua periode menjabat dilarang menjadi cawapres atau wapres pada periode berikutnya. Pasal 7 hanya menyatakan "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.

Aturan tersebut dipertegas dalam Pasal 169 huruf n UU 7/2017 tentang Pemilu, yakni seseorang bisa menjadi presiden atau wapres asalkan belum pernah menjadi presiden atau wapres untuk dua periode. Namun kemudian ada Pasal 8 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi "Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya".

Nah, di sini masalah bisa muncul. Andai kata, ada parpol yang keukeuh tetap mengusung Jokowi menjadi cawapres dan menang. Kemudian, ternyata di tengah pemerintahan berjalan, presidennya berhalangan tetap seperti sakit keras atau maaf-maaf meninggal dunia, maka Jokowi tidak bisa menggantikan posisi sebagai presiden karena terbentur undang-undang. Hal ini bakal menggangu jalannya pemerintahan dan negara, karena jika diangkat Plt presiden tentu orang yang menjabat tidak bisa mengambil keputusan-keputsan strategis, dan akhirnya harus digelar pilpres ulang.

Ketiga, seandainya lagi, jika tetap ada yang ngotot dukung Jokowi jadi wapres coba bayangkan bagaimana canggungnya atau bahasa anak Jaksel 'awkward' presiden terpilih nantinya bekerja bersama Jokowi.

Mau ambil kebijakan pun rasanya kikuk, lantaran wapresnya adalah seorang yang sudah punya pengalaman memimpin negara selama 10 tahun. Apalagi kalau mau mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintahan sebelumnya. Ambil contoh misalnya, presiden baru mau mengkritik pemerintahan sebelumnya yang menaikkan harga BBM, tentu tidak enak hati karena yang memutuskan harga BBM naik ya wapresnya. Bakal tidak kondusif suasana di internal pemerintahan.

Jadi, sebaiknya jangan mendorong-dorong Jokowi menjadi presiden tiga periode atau jadi cawapres di pilpres mendatang. Biarlah Pak Jokowi fokus menyelesaikan masa jabatannya. Kita juga harus menghormati sikap dan keputusan Jokowi yang tetap taat konstitusi. Percayalah, masih banyak tokoh yang bisa didorong atau berharap bisa menjadi cawapres.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement