Rabu 14 Sep 2022 17:23 WIB

Keseleo Berpikir Eko Kuntadhi

Eko Kuntadhi mirip buzzer yang menikmati praktik eksploitasi politik identitas.

Sejumlah santri keluar dari dalam ruangan usai mengaji di pondok pesantren Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur. Pegiat media sosial Eko Kuntadhi disebut akan menyambangi Lirboyo untuk meminta maaf atas kasus dugaan penghinaan terhadap ustadzah Ning Imas.
Foto: Antara/Prasetia Fauzani
Sejumlah santri keluar dari dalam ruangan usai mengaji di pondok pesantren Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur. Pegiat media sosial Eko Kuntadhi disebut akan menyambangi Lirboyo untuk meminta maaf atas kasus dugaan penghinaan terhadap ustadzah Ning Imas.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rossi Handayani, Mabruroh, Amri Amrullah,  Ratna Ajeng Tejomukti

Pernyataan pegiat media sosial Eko Kuntadhi terhadap Ustadzah Imaz Fatimatuz Zahra atau yang akrab disapa Ning Imaz dari Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, menggelitik publik. Apa yang diunggah Eko dianggap tidak pantas terutama karena sudah membuat Ning Imaz menerima cacian hingga ujaran yang bersifat melecehkan dari warganet.  

Baca Juga

Pengamat politik Islam dari Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam mengatakan, pernyataan Eko Kuntadi terhadap Ning Imaz merupakan slip of mind atau keseleo dalam berpikir. "Komentar Eko Kuntadi yang mentolol-tololkan materi tausiyah Ustazah Ning Imaz dari Pesantren Lirboyo, Kediri itu, tampaknya bukan slip of tounge (keseleo lidah), tapi slip of mind (keseleo berpikir). Komentar kasar dan merendahkan dari Eko, yang konon kabarnya merupakan Ketua Relawan Ganjarist itu, mirip dengan perilaku buzzer yang tampak menikmati dan mempertahankan praktik eksploitasi politik identitas," kata Ahmad pada Rabu (14/9/2022).

Ahmad mengungkapkan, model permainannya serupa. Yakni membenturkan narasi nasionalis dengan Islamis. Selanjutnya, untuk menghantam lawannya maka dimainkan "politics of labelling" dengan melekatkan stereotipe "Kadrun", "radikalis" atau "fundamentalis", kepada pihak-pihak yang dianggap berbeda pandangan dan kepentingan dengannya.

"Jika selama ini strategi itu cukup efektif, namun kali ini strategi itu menjadi bumerang. Karena komentar kasar dan merendahkan itu diarahkan ke tokoh perempuan dari Pesantren Lirboyo, yang notabene salah satu jangkar utama kekuatan politik Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam moderat terbesar di Indonesia," kata Ahmad.

Pernyataan Eko bermula dari cicitannya di Twitter yang mengunggah potongan video Ning Imaz. Di dalam video yang diproduksi oleh NU Online itu, Ning Imaz sedang menjelaskan tentang tafsir Surat Ali Imran ayat 14.

"Patut dipahami, khasanah pemikiran Islam itu sangat luas. Dunia pesantren memiliki cara pandang dengan spektrum yang sangat kaya terhadap tafsir atas teks-teks keagamaan. Jika tidak memiliki kapasitas memadai untuk mencerna dan memahami spektrum tafsir pemikiran keislaman yang begitu luas, maka statement-statement seperti itu hanya melahirkan ujaran-ujaran kebencian yang justru merendahkan khasanah pesantren sebagai basis pendidikan Islam," papar Ahmad.

Dalam video tersebut juga diunggah di TikTok NU Online dengan judul thumbnail 'Lelaki di Surga Dapat Bidadari, Wanita Dapat Apa?'. Kemudian, potongan video yang diunggah Eko disertai keterangan berbunyi, “Tolol tingkat kadal. Hidup kok cuma mimpi selangkangan.”

"Sebagai individu yang terdidik, Eko Kuntadi seharusnya mempromosikan persatuan bangsa. Jangan karena kebutuhan narasi dan kepentingan politik kelompok yang dibela, justru memproduksi ujaran-ujaran yang memecah belah bangsa dan merendahkan khasanah pemikiran pesantren NU. Karena itu, jika tidak memiliki pemahaman memadai tentang sesuatu, lebih baik diam menahan diri," kata Ahmad.

Pengamat Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai penghinaan yang dilakukan Eko Kuntadhi sudah termasuk melanggar UU ITE. Ancaman hukumannya adalah enam tahun penjara.

“Iya Eko sudah dapat dikualifikasi sebagai pelaku tindak pidana penghinaan pada ranah UU ITE, ancaman hukumannya enam tahun,” kata Fickar dalam keterangan tertulisnya.

Menurut Fickar, dengan ancaman hukuman enam tahun penjara, sudah cukup menjadi dasar bagi kepolisian untuk menahan pelaku, apabila pelaku tidak memenuhi panggilan. “(Enam tahun) Cukup untuk menjadi dasar menangkap dan menahan Eko Kuntadhi jika dipanggil tidak datang,” sambungnya.

Menurut Fickar, semua orang bebas membuat pernyataan apa saja karena itu bagian dari demokrasi. Tetapi ketika sudah melakukan penghinaan artinya dia sudah melakukan kejahatan dan cukup alasan dan dasar untuk dilakukan upaya paksa penangkapan dan penahanan.

“Penegak hukum penyidik kepolisian sudah dapat melakukan tindakan hukum upaya paksa menangkap dan menahan Eko Kuntadhi karena perbuatan pidananya. Kebebasan berpendapat itu dijamin UU tetapi jika sudah melakukan penghinaan UU pun memerintahkan untuk menangkapnya,” kata dia.

Putri sulung mantan presiden Abdurrahman Wahid, Zannuba Ariffah Chafsoh atau yang akrab disapa Yenny Wahid ikut menegur Eko Kuntadhi. Yenny mengingatkan agar Eko Kuntadhi sebagai penggiat medsos, harus tetap menjaga perasaan orang lain.

"Kita mengimbau agar semua pegiat medsos untuk mengedepankan akhlakul karimah dalam berekspresi di sosmed sehingga tidak melukai perasaan orang lain," kata Yenny Wahid melalui pesan WA kepada wartawan.

Ia mengingatkan pentingnya menjaga perasaan orang lain ini, apalagi hal yang dikritisi terkait agama tertentu. Menurut dia, ini berlaku untuk semua pihak, tidak hanya bagi Eko Kuntadhi saja, tapi semua pengguna dan penggiat media sosial.

"Kalau di dunia nyata kita tidak mau dimaki, tentu di dunia maya juga jangan hilang sopan santun," terangnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement