Rabu 14 Sep 2022 22:22 WIB

Pakar: Pelabelan Galon BPA Bisa Membingungkan Masyarakat

Pelabelan galon bisa membingungkan karena WHO belum kategorikan BPA karsinogenik

Rep: Novita Intan/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) dan SEAFAST Center, Nugraha Edhi Suyatma mengatakan International Agency for Research on Cancer (IARC) yang merupakan Lembaga bagian dari WHO belum mengklasifikasikan Bisfenol A (BPA) dalam kategori karsinogenik pada manusia. Sementara, acetaldehyde yang ada dalam kemasan PET justru sudah dimasukkan ke kelompok yang kemungkinan besar karsinogenik manusia.
Foto: Antara/Aji Styawan
Peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) dan SEAFAST Center, Nugraha Edhi Suyatma mengatakan International Agency for Research on Cancer (IARC) yang merupakan Lembaga bagian dari WHO belum mengklasifikasikan Bisfenol A (BPA) dalam kategori karsinogenik pada manusia. Sementara, acetaldehyde yang ada dalam kemasan PET justru sudah dimasukkan ke kelompok yang kemungkinan besar karsinogenik manusia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) dan SEAFAST Center, Nugraha Edhi Suyatma mengatakan International Agency for Research on Cancer (IARC) yang merupakan Lembaga bagian dari WHO belum mengklasifikasikan Bisfenol A (BPA) dalam kategori karsinogenik pada manusia. Sementara, acetaldehyde yang ada dalam kemasan PET justru sudah dimasukkan ke kelompok yang kemungkinan besar karsinogenik manusia. 

“Jadi menarasikan BPA sebagai karsinogenik itu tidak sesuai dengan pernyataan IARC dan WHO. Saat ini IARC, badan yang di bawah WHO masih mengkategorikan BPA masuk grup 3, belum masuk grup 2A atau 2B. Kalau acetaldehyde, justru masuk ke grup 2B itu sejak lama,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (14/9/2022).

Seperti diketahui, IARC mengklasifikasikan karsinogenik ini dalam empat grup. Kelompok 1, karsinogenik manusia. Kelompok 2A, kemungkinan besar karsinogenik manusia. Kelompok 2B, dicurigai berpotensi karsinogenik manusia. Kelompok 3, tidak termasuk karsinogenik manusia. Kelompok 4, kemungkinan besar tidak karsinogenik manusia.

“Jadi, dari sini juga FDA (The United States Food and Drug Administration) mengatakan tidak ada efek BPA atau paparan khusus. Levelnya pun rendah, sehingga bisa dibatasi oleh upaya produsen untuk menghilangkan residu BPA yang tidak bereaksi dalam pembuatan plastik polikarbonat. Yakni, bisa dibuat menjadi sangat rendah dan mungkin bisa sampai ke level BPA free,” ucapnya.

Hal yang sama Otoritas Keamanan Makanan Eropa atau European Food Safety Authority (EFSA), pembatasan untuk memperketat migrasi BPA juga belum ditetapkan hingga kini. “Bisa jadi mereka juga belum yakin,” katanya.

Karenanya, Nugraha mempertanyakan apakah wacana pelabelan BPA pada kemasan Polikarbonat memang benar-benar memberikan efek yang positif atau justru akan semakin membuat bingung masyarakat.  Karena, dia melihat ada pasal-pasal dari revisi peraturan terkait pelabelan BPA yang sudah menjadikan wacana tersebut menjadi sangat heboh di tengah masyarakat.   

“Berbicara soal basic research, tentu saja BPOM memilikinya. Cuma, kalau bahas terkait dengan wacana pelabelan BPA pada polikarbonat itu, jadi muncul pertanyaan apakah itu benar-benar akan memberikan efek yang positif bagi masyarakat atau justru akan semakin membuat bingung,” ucapnya.

Saat membaca draf Perka BPOM terkait wacana pelabelan BPA ini, Nugraha mengatakan ada dua pasal krusial yaitu pasal 61A dan 61B, yang banyak menjadikan heboh masalah ini.  Dalam pasal 61A itu disebutkan bahwa label air minum dalam kemasan (AMDK) yang menggunakan plastik polikarbonat wajib mencantumkan tulisan berpotensi mengandung BPA. 

“Tetapi, itu hanya diwajibkan bagi kemasan yang batas migrasinya melebihi 0,01 bpj. Jadi, ada pengecualian dan sebenarnya akan membuat masyarakat merasa aman,” ucapnya.

Tetapi, di pasal 61B yang menyebutkan bahwa bagi AMDK yang menggunakan plastik selain Polycarbonate dapat mencantumkan tulisan bebas BPA, itu merupakan hal yang aneh. “Jadi, kalau dari kacamata saya, saya kurang sependapat dengan adanya sisipan pasal ini, baik 61A maupun 61B, apalagi yang 61B,” ucapnya. 

Dia beralasan pasal-pasal itu seperti akan memberikan kesalahan persepsi konsumen terkait pelabelan BPA. Ada kesan bahwa AMDK selain kemasan Polikarbonat aman dikonsumsi dan itu tidak betul. “Padahal seperti yang kita tahu bahwa BPA itu ada di mana-mana, tidak hanya di Polikarbonat tetapi ada juga di kemasan kaleng, botol bayi atau di dot. Itu kan mestinya dilarang total bagi bayi dan anak-anak. Apalagi di makanan kaleng, ada riset yang mengatakan hampir 90 persen enamel pada kaleng itu terbuat dari epoksi. Nah, epoksi itu adalah BPA sebagai basic,” katanya. 

Dia juga mencontohkan kemasan PET yang juga ada resiko dari bahan senyawa yang lain yang berpotensi ke arah negatif. “PET ada kandungan asetaldehid, etilen glikol, dan lain-lain yang juga berbahaya,” ucapnya.

Selain itu, pasal 61B yang menyatakan kemasan lain boleh mencantumkan BPA free, menurut Nugraha, ini  justru bertentangan dengan Peraturan BPOM terkait dengan label pangan. Hal itu sama saja dengan  misalnya produksi minyak sawit non cholesterol atau cholesterol free, padahal secara natural minyak nabati itu memang tidak mengandung cholesterol. “Nah, ini kalau tiba-tiba muncul jenis plastik lain boleh dicantumkan BPA free, jadi kayak kontra dengan kebijakan BPOM yang sebelumnya,” ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement