Rabu 14 Sep 2022 00:29 WIB

P2G Minta Frasa 'Tunjangan Profesi Guru' Tertulis Jelas di RUU Sisdiknas

Tata kelola guru swasta di bawah UU Ketenagakerjaan menyalahi filosofi pendidikan.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
Perhimpunan dan Pendidikan Guru (P2G) masih mempertanyakan keberadaan pasal yang menyebutkan peningkatan kesejahteraan 1,6 juta guru yang belum sertifikasi di dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas).
Foto: republika/mgrol100
Perhimpunan dan Pendidikan Guru (P2G) masih mempertanyakan keberadaan pasal yang menyebutkan peningkatan kesejahteraan 1,6 juta guru yang belum sertifikasi di dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan dan Pendidikan Guru (P2G) masih mempertanyakan keberadaan pasal yang menyebutkan peningkatan kesejahteraan 1,6 juta guru yang belum sertifikasi di dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). P2G ingin agar hal itu disebutkan dalam RUU Sisdiknas secara eksplisit.

"Kami hanya ingin ada payung hukum yang jelas, tertulis secara eksplisit disebutkan dalam RUU Sisdiknas tentang klausul tunjangan profesi, lengkap sebagaimana tertera dalam UU Guru dan Dosen, sebagai dasar dalam membuat kebijakan turunannya nanti," ujar Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim kepada Republika, Selasa (13/9/2022).

Baca Juga

Menurut Satriwan, hal itu penting untuk dilakukan demi asas kepastian hukum. Sebab, dasar hukum itu merupakan yang tertulis, bukan hanya sekadar pernyataan belaka. Dia juga mempertanyakan keputusan melimpahkan peningkatan kesejahteraan guru ke UU ASN dan UU Ketenagakerjaan.

"Kenapa tidak diatur sendiri di RUU Sisdiknas agar regulasinya harmonis. Jika menyerahkan ke UU ASN dan UU Ketenagakerjaan atau Cipta Kerja, justru ini bentuk ketidakharmonisan UU dan melahirkan regulasi yang tumpang tindih," kata dia.

Dia mengatakan, cara Mendikbudristek Nadiem Makarim mengatur tata kelola guru swasta di bawah UU Ketenagakerjaan keliru. Dia menilai hal itu terkesan pemerintah melakukan pendekatan dengan sangat ekonomis industri. 

Itu sangat menyalahi filosofi pendidikan dan filosofi guru. "Sebab hubungan guru dengan yayasan bukan seperti relasi industri seperti halnya buruh dengan perusahaan pemberi kerja, melainkan relasi pedagogis dan budaya," kata dia. 

"Apalagi keberadaan tayasan itu selama ini diatur berada di bawah naungan UU Yayasan, bukan UU Perseroan Terbatas. Jadi mana mungkin guru dan yayasan tunduk pada UU Ketenagakerjaan yang bukan bagian dari dirinya," terang Satriwan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement