Senin 12 Sep 2022 20:22 WIB

Pengembangan Kedelai GMO di RI Butuh Proses Panjang

Penggunaan kedelai GMO di RI butuh persetujuan Komisi Keamanan Hayati

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Rencana pemerintah untuk pengembangan kedelai transgenik atau genetically modified organism (GMO) membutuhkan proses yang panjang. Berbagai risiko yang ditimbulkan perlu dipastikan agar kedelai GMO yang digunakan memberikan manfaat bagi peningkatan produksi dalam negeri.
Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
Rencana pemerintah untuk pengembangan kedelai transgenik atau genetically modified organism (GMO) membutuhkan proses yang panjang. Berbagai risiko yang ditimbulkan perlu dipastikan agar kedelai GMO yang digunakan memberikan manfaat bagi peningkatan produksi dalam negeri.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pemerintah untuk pengembangan kedelai transgenik atau genetically modified organism (GMO) membutuhkan proses yang panjang. Berbagai risiko yang ditimbulkan perlu dipastikan agar kedelai GMO yang digunakan memberikan manfaat bagi peningkatan produksi dalam negeri.

Pakar Pertanian IPB University, Dwi Andreas Santosa, mengatakan, penggunaan kedelai GMO di Indonesia harus melalui persetujuan Komisi Keamanan Hayati (KKH). Seluruh produk baik pangan maupun pakan yang akan ditanam di lingkungan dalam negeri tak hanya membutuhkan kajian namun wajib lolos uji.

"Sampai saat ini belum ada catatan kami, untuk kedelai GMO yang sudah diajukan untuk ditanami di Indonesia," kata Andreas, yang juga menjadi anggota KKH periode 2009-2019 kepada Republika.co.id, Senin (12/9/2022).

Andreas menjelaskan, proses persetujuan produk GMO untuk dikembangkan di Indonesia akan melalui proses diskusi yang panjang. Setelah adanya rekomendasi dari KKH, kementerian terkait baru dapat melakukan pelepasan varietas di 20 lokasi selama 20 musim.

Ia menekankan, poin penting dari proses pengujian produk GMO adalah sejauh mana dapat meningkatkna produksi dalam negeri. Selain itu, komisi juga harus memastikan seperti apa risiko keanekaragaman hayati seperti pencemaran genetik varietas lokal.

"Apakah kedelai GMO hasilnya lebih bagus? Belum tentu," kata Andreas.

Kedelai GMO yang dibudidayakan oleh Amerika Serikat, Brazil, dan Argentina memiliki rata-rata produktivitas hingga 4 ton per ha. Andreas mengatakan, nyatanya, tingkat produktivitas kedelai GMO dengan kedelai non GMO seperti di Eropa dan Rusia sama.

Di sisi lain, Andreas mengatakan, penggunaan kedelai GMO akan membuat Indonesia ketergantungan pada benih impor. Sebab, benih kedelai GMO tidak dapat dikembangbiakan untuk penanaman kembali. Di sisi lain, Andreas pun mengingatkan, 99 persen produksi bibit kedelai GMO saat ini dikuasai loleh enam perusahaan multinasional.

"Jadi ada masalah ekonomi, politik, dan dominasi perusahaan karena benihnya tidak bisa digunakan untuk ditanam kembali," ujar dia.

Lebih lanjut ia mengatakan, pengembangan kedelai GMO khusus di Indonesia bisa saja dilakukan. Namun, cara dan metode pengembangan pun telah dipatenkan oleh perusahaan-perusahaan yang menguasai pasar kedelai GMO.

Kebijakan Tarif

Andreas menilai persoalan utama kedelai di Indonesia bukan soal varietas. Namun, soal harga kedelai lokal yang lebih tinggi dari kedelai impor. "Bagaimana kedelai lokal bisa ditandingkan dengan kedelai impor, kalau itu tidak di atasi, mau kebijakan GMO atau apapun itu pasti gagal," kata dia.

Saat ini, Andreas mengatakan, rata-rata harga kedelai lokal di kisaran Rp 10 ribu per kg - Rp 13 ribu per kg. Sementara, kedelai impor dalam situasi normal hanya dihargai Rp 7.000 per kg, kendati saat ini kedelai impor tengah mengalami kenaikan hingga Rp 12 ribu per kg imbas faktor global.

Menurutnya, kebijakan tarif sangat diperlukan agar kedelai lokal dapat bersaing dengan kedelai impor. Pemerintah dapat membuat kebijakan agar disparitas harga lokal dan impor tidak jauh berbeda.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement