Ahad 11 Sep 2022 19:38 WIB

Menakar Ancaman Pidana Mati untuk Ferdy Sambo dalam Hukum Kita

Hukuman mati untuk kejahatan luar biasa masih sangat relevan di Indonesia

Tersangka mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo mengenakan pakaian tahanan bersama istrinya Putri Chandrawathi. Hukuman mati untuk kejahatan luar biasa masih sangat relevan di Indonesia
Foto: Republika/Thoudy Badai
Tersangka mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo mengenakan pakaian tahanan bersama istrinya Putri Chandrawathi. Hukuman mati untuk kejahatan luar biasa masih sangat relevan di Indonesia

Oleh : Prof Romli Atmasasmita, Guru ilmu hukum Universitas Padjadjaran

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Pernyataan Kapolri pada Selasa 9 Agustus 2022 telah menghentikan spekulasi awam dan ahli mengenai akhir dari perkara pembunuhan “polisi oleh polisi” yang meramaikan dinamika sosial di seantero Tanah Air.  

Ketidakpastian hukum mengenai perkara tersebut berakhir setelah Kapolri menyatakan bahwa Ferdy Sambo memerintahkan Brigadir E untuk membunuh (alm) Brigadir Josua sehingga kronologi kasus ini menjadi lebih terang benderang dan sekaligus membantah dan menolak berita awal yang tersebar luas ke masyarakat. 

Baca Juga

Sedangkan masalah pelecehan yang di duga dilakukan Alm Brigadir Josua terhenti dengan sendirinya karena ketentuan Pasal 77 KUHP memastikan bahwa kewenangan menuntut pidana hapus jika tertuduh meninggal dunia sehingga tidak ada kepentingan hukum lain bagi peradilan terhadap Ferdy Sambo dkk hanya menemukan motif dari pembunuhan semata demi kepentingan terdakwa.  

Masalah lain yang juga penting dari peristiwa ini adalah mengenai ancaman pidana mati dalam Pasal 340 KUHP yang merupakan ancaman pidana maksimal bagi Ferdy Sambo. Apakah sepatutnya Ferdy Sambo dipidana mati hanya karena  motivasi pelecehan terhadap istrinya, PC terhadap Brigjen Alm Josua (korban)?  

 

Penilaian mengenai standar kepatutan dari aspek kemanusiaan yang adil dan beradab dewasa ini telah mengalami perubahan signifikan sehubungan dengan pertanyaan tersebut bahkan menjadi polemik yang berlarut-larut di dalam pergaulan masyarakat internasional.  

Baca juga: Tahajud Sang Istri Selamatkan Mualaf Izhac dari Dunia Kriminal hingga Bersyahadat

Perubahan pertama diawali dengan konvensi internasional PBB mengenai hukuman mati (death penalty). Perubahan terkini mengenai hukuman mati menunjukkan bahwa sikap negara-negara di dunia terhadap penghapusan hukuman mati terbagi menjadi dua kelompok, yaitu negara abolisionis dan negara retensionis. 

Negara abolisionis merupakan negara yang mendukung atau telah menerapkan penghapusan hukuman mati, sedangkan negara retensionis merupakan negara-negara yang menolak penghapusan hukuman mati atau masih menerapkan hukuman mati.  

Sampai saat ini Indonesia termasuk negara retentionis terhadap hukuman mati, dan hal ini tampak dari sikap Mahkamah Konstitusi dalam perkara Uji Material UU Narkotika atas nama pemohon, Rani, yang menyatakan sebagai berikut: 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement