Jumat 09 Sep 2022 09:01 WIB

Kenaikan Harga BBM: Akankah Membawa Berkah Bagi Pendidikan?

Imbas kenaikkan harga BBM bagi dunia pendidikan

Sejumlah siswa berjalan kaki melintasi pematang sawah saat pulang ke rumah di Dusun Ciakar, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. (ilustrasi)
Foto: Antara/Adeng Bustami
Sejumlah siswa berjalan kaki melintasi pematang sawah saat pulang ke rumah di Dusun Ciakar, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof DR Agus Suradika, Pakar Pendidikan dan Wakil Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah Jakarta

Sepanjang Indonesia merdeka, hampir tidak ada pemerintahan yang tidak menaikan harga BBM. Hanya di era Habibi yang singkat itu (1998-1999) kenaikan harga tidak terjadi. 

Di era Soeharto,   kenaikan harga BBM tercatat sebanyak 21 kali. Selama  lebih kurang 30 tahun kepemimpinannya hingga jatuh pada 1998 tercatat kenaikan harga BBM beratus kali lipat. Pada 1967, di awal tahun pemerintahannya tercatat harga premium Rp4/Liter, pada tahun 1998 di tahun akhir kepemimpinannya melonjak  menjadi Rp1.000/liter. Harga minyak tanah  pada 1967 tercatat  Rp1,8/liter, di tahun 1998 melonjak menjadi Rp 280/liter . Terakhir, Solar Rp3,5/liter pada 1967 melonjak menjadi Rp 550/liter di tahun 1998.

Kendati harga melonjak ratusan kali lipat,  periode 1970-an adalah era emas pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai berkah dari adanya  “bonanza” minyak. Boikot negara-negara Arab atas keberpihakan Amerika dan Barat terhadap Israel menyebabkan harga minyak dunia melonjak tinggi. Pada 1974 naik empat kali lipat dari tiga dollar menjadi 12 dolar per-barel. Selanjutnya antara 1979-1980 meningkat lagi dua kali lipat akibat revolusi Iran.  

Berkah    lonjakan harga minyak dunia tersebut membuat Indonesia  dapat mendanai pembangunan di berbagai sektor, termasuk sektor pendidikan. Ribuan SD Impres dibangun pada era Soeharto ini.  Merujuk pada data Bank Dunia, menurut Duflo (2000), di sepanjang tahun 1973-1974 hingga 1978-1979 Indonesia telah membangun sebanyak 61.807 unit sekolah SD baru. Tiap sekolah menampung 500 anak-anak.  SD Inpres di era Soeharto ini dimaksudkan untuk memperluas kesempatan belajar warga berpenghasilan rendah baik yang tinggal di perdesaan maupun perkotaan.  Dampaknya di tahun 1988 tercatat Angka Partisipasi Murni (APM) SD mencapai 99,6 persen. Di tahun 1990 jumlah masyarakat buta aksara turun hingga 15,8 persen. Lama masa pendidikan pun berdampak pada peningkatan upah sebesar 3 - 5,4 persen.

Sedikitnya ada enam faktor yang menyebabkan kenaikan harga BBM di era Soeharto menjadi berkah di bidang pendidikan. 

Pertama, naiknya harga minyak mentah dunia saat itu menyebabkan meningkatknya  pendapatan negara karena Indonesia negara pengimport minyak mentah cukup besar. 

Kedua, naiknya harga BBM di pasar domestik menyebabkan subsidi pemerintah dapat dikurangi dan dialihkan ke pambangunan di berbagai bidang. 

Ketiga, watak kekuasaan Soeharto yang individual despotistik menyebabkan ia lebih mudah mengatur jalannya roda pemerintahan. Komitmennya untuk menuntaskan wajib belajar 6 tahun dapat ditunaikan dengan mengalokasikan dana cukup besar untuk menuntaskan wajib belajar 6 tahun. 

Keempat, korupsi saat itu belum menggurita dan masih sangat terbatas di tingkat pusat. 

Terakhir, Kelima, utang luar negeri belum terlalu besar dan pemerintah mampu membayar.

Di Era Jokowi saat ini, di tahun ke delapan era  pemerintahannya sudah terjadi enam  kali kenaikan harga BBM. Pertama kali pada November 2014, sebulan setelah Jokowi dilantik menjadi presiden. BBM rata-rata naik sebesar Rp. 2.000. Harga Premium naik dari Rp 6.500,- menjadi Rp 8.500,- dan solar naik dari dari Rp 5.500,- menjadi Rp 7.500,-.

Kini, September 2022, salah satu BBM subsidi yang banyak digunakan masyarakat, Pertalite, mengalami kenaikan harga menjadi Rp 10.000 per liter. Bahan bakar Diesel dibandrol Rp 6.800 per liter. Pertamax 92 menjadi Rp. 15.000/liter. Kebijakan pemerintah  menaikan harga BBM ini sedang menuai protes masyarakat di berbagai daerah hingga saat ini.

Pertanyaannya, akankah kenaikan harga BBM di masa kepemimpinan Jokowi ini akan membawa berkah bagi kemajuan pendidikan Indonesia? Untuk menjawab ini, sedikitnya ada lima kondisi di bawah ini yang  dapat memberi sinyal ada atau tidaknya berkah tersebut.

Pertama, kenaikan harga BBM domestik di masa pemerintahan Jokowi justru terjadi ketika harga minyak mentah dunia menurun. Hal itu menyebabkan pendapaan negara dari import minyak mentah menurun. Implikasinya harus ada efisisien atau pemotongan anggaran karena turunnya pendapatan negara. 

Kedua, rencana besar Jokowi untuk memindahkan ibukota negara ke kawasan timur Indonesia menyebabkan fokus pada peningkatan kualitas pendidikan menjadi kalah menarik dibanding dengan pembangunan infrastruktur pemindahan ibu kota negara. 

Ketiga, kepemimpinan Jokowi yang bersifat oligarki despotistik menyebabkan sulitnya Presiden  mengambil keputusan yang berfihak pada kepentingan rakyat banyak terutama ketika mengganggu kepentingan oligharki ekonomi maupun oligarki politk. Disyahkannya UU Omnibus Law dan hilangnya frasa tunjangan sertifikasi guru dan dosen dalam RUU Sisdiknas tanpa bukti-bukti penjelasan yang memadai menunjukan jauhnya keberpihakan pemerintahan saat ini pada kemajuan bidang pendidikan. 

Keempat, dikuranginya subsidi BBM yang berimplikasi pada naiknya harga BBM yang diikuti dengan naiknya harga kebutuhan pokok masayarakat menyebabkan daya beli masayarakat menurun, termasuk menurunnya kemampuan keluarga membiayai pendidikan.

Kelima, Mengguritanya korupsi yang terjadi sampai di tingkat terendah kepemimpinan di era otonomi daerah ini semakin mempersulit pemerintahan dapat berjalan dengan baik. Korupsi sudah merambah lingkungan pendidikan. Kejadian terakhir yaitu tertangkapnya salah satu Rektor PTN adalah bukti parahnya praktik korupsi di Indonesia. Keadaan ini akan menggerus kepercayaan stakeholderpendidikan pada pengelolaan keuangan pendidikan.

 

Cirendeu, 8 September 2022

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement