Kamis 08 Sep 2022 20:26 WIB

Pengamat: Pemerintah Harus Hati-Hati Dalam Mendesain Kenaikan Tarif Ojol

Kenaikan tarif ojol tidak selalu untungkan sopir dan malah merugikan UMKM

Rep: Haura Hafidzah/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pengemudi ojek online (ojol) mengangkut penumpang di Jalan Kebon Kawung, Cicendo, Kota Bandung.  Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menanggapi terkait kenaikan tarif ojek online (ojol) yang akan diberlakukan pada (10/9/2022). Menurutnya, Pemerintah harus hati-hati dalam mendesain kenaikan tarif ojol.
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Pengemudi ojek online (ojol) mengangkut penumpang di Jalan Kebon Kawung, Cicendo, Kota Bandung. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menanggapi terkait kenaikan tarif ojek online (ojol) yang akan diberlakukan pada (10/9/2022). Menurutnya, Pemerintah harus hati-hati dalam mendesain kenaikan tarif ojol.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menanggapi terkait kenaikan tarif ojek online (ojol) yang akan diberlakukan pada (10/9/2022). Menurutnya, Pemerintah harus hati-hati dalam mendesain kenaikan tarif ojol.

"Cek dulu peningkatan konsumsi kelas menengahnya berapa, kemudian tingkat inflasi dan juga tantangan kedepan yang bisa hambat daya beli. Disposable income dari konsumen ojol juga tergerus oleh harga pangan," katanya saat dihubungi Republika, Kamis (8/9/2022).

Kemudian, ia menjelaskan dari segi pendapatan driver kan saat ini masih dalam proses pemulihan karena mobilitas masih belum kembali ke pra pandemi.

Dari data Google Mobility di Jakarta per 10 agustus 2022 menunjukkan tingkat pergerakan masyarakat ke ritel atau pusat perbelanjaan masih minus 11 persen, ke stasiun transit minus 24 persen dan ke perkantoran minus 7 persen.

"Sementara, persaingan juga makin ketat karena banyak pekerja formal yang beralih ke driver ojol akibat tekanan pandemi. Jadi, kenaikan tarif seolah membantu pendapatan driver tapi sebenarnya bisa blunder," ujar dia.

Selain itu, kenaikan tarif ojol akan membuat inflasi dari sektor transportasi meningkat tajam. Dan ini bisa berpengaruh ke inflasi khususnya di perkotaan, yang kena dampak paling dalam justru kelas menengah rentan.

Ibaratnya masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi online tetap saja biaya transportasi mahal. Karena transportasi ini kebutuhan yang penting.

"Maka, masyarakat akan memprioritaskan belanja transportasi dan konsekuensinya mengurangi konsumsi kebutuhan lain, beli baju ditunda, pengeluaran makanan di hemat dan sebagainya," kata dia.

Dampak dari naiknya tarif ojol juga tidak berkorelasi dengan naiknya pendapatan para mitra driver. Kalau tarif naik tinggi, konsumen akan kaget dan mencari alternatif transportasi lain.

Misalnya, dari rumah ke kantor, mungkin ujungnya konsumen kelas menengah akan naik motor sendiri dibanding membayar jasa ojol yang dipersepsikan mahal.

Ia menambahkan perhatikan juga naiknya tarif ojol bisa berimbas ke kenaikan biaya pengiriman makanan dan barang. Otomatis kalau antar penumpang naik tarifnya maka layanan sejenis juga akan naik.

"Yang rugi pelaku UMKM makanan dan minuman serta konsumen secara luas karena biaya ongkir jadi lebih mahal," kata dia.

Sebelumnya diketahui, Kementerian Perhubungan memutuskan kenaikan tarif ojol per 10 September 2022 seiring dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Kenaikan tarif rata-rata untuk batas atas dan batas bawah tersebut sekitar 6 persen hingga 13,33 persen sementara tarif minimal menjadi Rp 8.000 hingga Rp 11.200.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement