Selasa 06 Sep 2022 15:44 WIB

Terancam Stagflasi Akibat BBM Naik, Ini Solusinya Menurut Ekonom

Kenaikan harga bahan pangan akibat kenaikan BBM bersubsidi perlu diperhatikan.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Nidia Zuraya
Petugas melayani pengisian bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite (ilustrasi).
Foto: ANTARA/Makna Zaezar
Petugas melayani pengisian bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi dikhawatirkan semakin mengerek inflasi. Sayangnya, kekhawatiran itu tidak dibarengi dengan tingginya kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, jika kondisi terus begitu, maka bisa mengakibatkan stagflasi. "Ini bisa akibatkan stagflasi seperti di negara-negara lainnya," ujar dia kepada Republika.co.id, Selasa (6/9/2022).

Baca Juga

Ia menyebutkan, ada beberapa solusi yang bisa diambil pemerintah demi mencegah hal tersebut. "Pertama, pemerintah bisa kok bantu kurangi beban harga BBM, caranya PPN untuk BBM ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah," jelasnya.

Jika Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ditanggung oleh pemerintah, kata dia, harga BBM di ritel bisa turun. Solusi kedua, lanjutnya, pemerintah bisa menurunkan sedikit tarif PPN secara umum.

"Karena kondisinya saat ini, khawatir daya beli masyarakat turun, maka saya sarankan turunin aja (PPN) dari 11 persen menjadi 8 persen misalnya. Itu juga sudah cukup karena ada pengurangan beban di masyarakat," jelas Bhima.

Ketiga, sambungnya, kenaikan harga bahan pangan akibat kenaikan BBM bersubsidi perlu diperhatikan. Itu karena, otomatis biaya angkut barang pun ikut naik.

"Maka pemerintah harus tambah dong alokasi pupuk subsidinya. Kemudian subsidi bunga KUR (Kredit Usaha Rakyat) pertaniannya juga ditambah," tutur dia.

Solusi kelima, lanjut Bhima, pemerintah jangan hanya menyalurkan BLT (Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk kelompok paling bawah, sebab ada pula kelompok kelas menengah, dan kelompok rentan. "Itu pun harus di-cover melalui kebijakan subsidi upah pekerja di sektor informal misalnya. Jadi tidak hanya berdasarkan basis data BPJS Ketenagakerjaan tapi juga survei langsung ke sektor informal," jelasnya.

Solusi berikutnya, kata Bhima, pemerintah bisa melakukan revisi terhadap harga BBM subsidi, setidaknya bagi Pertalite dan solar. Itu karena, tren harga minyak mentah mulai turun, sehingga memungkinkan merevisi.

"Jadi harga pertalite Rp 10 ribu dan solar Rp 6.800 bukan harga seterusnya. Melainkan bisa dikoreksi di tengah jalan," tegasnya. 

Bhima menambahkan, upah minimum pun bisa dinaikkan. Idealnya untuk proteksi secara luas, upah dapat dinaikkan sejalan dengan inflasi minimum yang diproyeksikan sebesar 7 sampai 7,5 persen, sehingga pendapatan para pekerja bisa kompensasi dari kenaikan inflasi.

"Itu harusnya cara-cara kreatif yang dilakukan. Terakhir, transportasi publik seharusnya digratiskan atau diberi diskon, seperti di Spanyol, saat harg BBM naik tinggi, masyarakat beralih pakai transportasi publik, jadi armadanya diperbanyak dan tarifnya didiskon bahkan digratiskan," ujar Bhima.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement