Selasa 06 Sep 2022 04:29 WIB

Kemenkominfo Soroti Dugaan Pidana Kasus Kebocoran Data Kartu SIM

Pengelola data dapat dikenakan sanksi perdata dan denda apabila terjadi kebocoran.

Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Semuel Abrijani Pangerapan menyampaikan sambutannya dalam peluncuran Akademi Pembelajaran Virtual oleh perusahaan teknologi Meta saat forum Digital Innovation Network (DIN) G20 di Nusa Dua, Badung, Bali, Sabtu (3/9/2022). Meta meluncurkan Meta Immersive Learning Academy atau Akdemi Pembelajaran Virtual yang memfasilitasi para kreator di bidang
Foto: ANTARA/Aditya Pradana Putra
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Semuel Abrijani Pangerapan menyampaikan sambutannya dalam peluncuran Akademi Pembelajaran Virtual oleh perusahaan teknologi Meta saat forum Digital Innovation Network (DIN) G20 di Nusa Dua, Badung, Bali, Sabtu (3/9/2022). Meta meluncurkan Meta Immersive Learning Academy atau Akdemi Pembelajaran Virtual yang memfasilitasi para kreator di bidang

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyoroti dugaan pelanggaran pidana yang dilakukan pelaku dalam kasus kebocoran data registrasi kartu SIM telepon Indonesia.

"Bahwa benar ada kebocoran itu ada kesalahannya pengendali (penyelenggara sistem elektronik), tapi yang membocorkan (pelaku) juga kita perlu (untuk disoroti)," kata Direktur Jendral Aplikasi dan Informatika Kementerian Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan di Jakarta, Senin (5/9/2022).

Baca Juga

Mengingat hal tersebut, Semuel mengatakan pihaknya juga turut mengundang Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri atau Cyber Crime Polri dalam rapat koordinasi untuk mengusut dugaan kebocoran data kartu SIM. Selain Cyber Crime Polri, rapat juga melibatkan para operator seluler, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), serta Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kemenkominfo sebagai pengampu operator seluler.

Terkait kebocoran data, Semuel menjelaskan kasus tersebut setidaknya mencakup dua pelanggaran. Yaitu pelanggaran administratif dan pelanggaran pidana. Namun, urgensi pelanggaran pidana, menurutnya, seolah-olah tidak pernah menjadi sorotan sehingga tidak diketahui publik.

 

Sebelumnya, beredar kabar melalui media sosial, pada Rabu (31/8/2022) pekan lalu, sebanyak 1,3 miliar data pendaftaran kartu SIM telepon Indonesia bocor. Data yang berisi NIK, nomor telepon, operator seluler yang digunakan, dan tanggal registrasi itu dijual di situs Breach Forum seharga 50 ribu dolar AS oleh pengguna bernama Bjorka.

Semuel mengatakan pelaku dugaan kebocoran data kartu SIM saat ini belum diketahui dari mana masuknya, apakah dari luar negeri atau dalam negeri. Menurutnya, hal tersebut diinvestigasi lebih lanjut oleh Cyber Crime Polri.

Akun Bjorka melalui situs Breach Forum mengklaim telah membagikan dua juta data sampel data registrasi kartu SIM secara gratis. Mengenai hal ini, Semuel mengingatkan agar masyarakat berhati-hati mengumpulkan data sampel karena berpotensi melanggar hukum mengingat data tersebut hanya digunakan untuk kepentingan investigasi.

Terkait masalah kebocoran data, Semuel juga menggarisbawahi perlunya perbaikan regulasi yang lebih mumpuni dalam hal pengelolaan data, seperti mendorong Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang diharapkan selesai pada tahun ini.

Jika merujuk pada RUU tersebut, Semuel menjelaskan pihak pengelola data dapat dikenakan sanksi perdata dan denda apabila terjadi kebocoran, sementara pelaku atau pihak yang membocorkan data dapat dijatuhi hukuman pidana.

Sejauh ini sebelum kehadiran RUU PDP, ia mengatakan sejumlah kasus kebocoran data sudah dikenakan sanksi namun belum sampai ke tahap denda. Beberapa kasus juga terhukum secara pidana, namun bukan kasus-kasus yang besar, kata Semuel.

"Indonesia sedang melakukan transformasi digital. Kalau kita bicara ruang digital itu pasti ada yang namanya bolong-bolongnya di dunia ini. Makanya harus ada regulasinya, ada keamanan siber yang dibentuk oleh para penyelenggaranya, ada sanksi administratif dan sanksi pidananya bagi pelakunya," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement