Senin 05 Sep 2022 17:36 WIB

Efek BBM, Harga-Harga Naik Diprediksi Normal di Bulan Ketiga

Kenaikan harga bahan pangan otomatis menurunkan daya beli masyarakat.

Bus antarkota antarprovinsi (AKAP) menunggu penumpang di Terminal Giwangan, Yogyakarta, Senin (5/9/2022). Imbas kenaikan harga BBM oleh Pemerintah pada Sabtu (3/9/2022), tarif angkutan bus AKAP mulai mengalami penyesuaian. Berdasarkan pantauan di terminal besarnya kenaikan harga tiket dikisaran Rp 20 ribu hingga Rp 50 ribu tergantung rute dan kebijakan pemilik bus.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Bus antarkota antarprovinsi (AKAP) menunggu penumpang di Terminal Giwangan, Yogyakarta, Senin (5/9/2022). Imbas kenaikan harga BBM oleh Pemerintah pada Sabtu (3/9/2022), tarif angkutan bus AKAP mulai mengalami penyesuaian. Berdasarkan pantauan di terminal besarnya kenaikan harga tiket dikisaran Rp 20 ribu hingga Rp 50 ribu tergantung rute dan kebijakan pemilik bus.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Iit Septyaningsih, Zainur Mahsir Ramadhan

Kenaikan harga bahan pangan akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dipastikan akan terjadi. Ongkos transportasi pengiriman sayuran dari Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, ke berbagai kawasan di Ibu Kota segera naik menyesuaikan kenaikan harga BBM.

Baca Juga

Salah satu sopir pengantar sayuran, Bayu mengatakan, dirinya beserta rekan-rekannya yang lain masih menghitung besaran kenaikan harga jasa pengiriman sayuran tersebut. "Biasanya kalau ke Tanah Tinggi itu sekali berangkat Rp 500 ribu, untuk saat ini kita perkirakan naik paling Rp 550 ribu," kata Bayu, Senin (5/9/2022).

Bayu menambahkan, apabila upaya bertahan dengan harga saat ini tidak sebanding dengan besarnya pengeluaran yang dibutuhkan untuk membeli bensin. Dia mengatakan, dampak kenaikan harga BBM bersubsidi seperti Pertalite yang sekarang menjadi Rp 10 ribu per liter mulai dirasakan.

"Iya sudah mulai terasa, dari kita pengisian Pertalite saja, yang biasanya Rp 100 ribu kita dapat banyak, sekarang cuma 10 liter. Otomatis kita harus nambah lagi 25 persen," ujar Bayu.

Hal serupa juga disampaikan sopir pengantar sayur lainnya, Rafles Siababan. Dia mengatakan kenaikan harga BBM juga akan berdampak terhadap harga kebutuhan pokok.

Saat ini para sopir masih melakukan koordinasi dengan para pedagang untuk kenaikan harga tersebut. "Mungkin pedagangnya belum terbiasa menaikkan ongkos dan perlahan nanti mulai mengerti," ujar Rafles.

Sementara di Bali, pedagang bahan dapur di Pasar Badung, Denpasar, mengungkapkan harga sejumlah bahan mengalami kenaikan secara serentak. "Sejak dua hari lalu harga BBM naik, cabai kecil, cabai keriting, lombok besar, bawang merah dan bawang putih ikut naik," kata Komang Widiasih (31) salah satu pedagang bahan dapur di Pasar Badung Denpasar, Senin.

Widiasih menuturkan, sejak dua hari lalu kenaikan harga berlangsung serentak. Seperti bawang merah dari Rp 20 ribu menjadi Rp 25 ribu, cabai rawit dan cabai besar dari Rp 40 ribu menjadi Rp 43 ribu.

Pedagang yang mengambil barang langsung dari petani daerah seperti di Kabupaten Klungkung, Bangli dan Buleleng ini mengaku kenaikan harga secara serentak umum terjadi akibat adanya kenaikan harga BBM. Menurutnya dampak dari kenaikan BBM merupakan hal yang masih wajar, meskipun setiap adanya kenaikan harga akan berimbas langsung terhadap penjualannya.

"Kenaikan harganya cepat tapi naiknya sedikit demi sedikit, rata-rata naik mulai Rp 1.000 tidak langsung tinggi. Kalau pembeli tidak berkurang tapi daya belinya menurun, dari yang beli satu kilogram menjadi setengah kilogram. Jadi kalau biasa sehari dapat Rp 1,5 juta sekarang Rp 1 juta," ujar Widiasih.

Sektor UMKM juga dipastikan harus beradaptasi akibat kenaikan harga BBM. Ketua Umum Asosiasi IUMKM Indonesia (Akumandiri) Hermawati Setyorinny menyatakan, harga produk terpaksa berubah karena ada dampak di ongkos produksi.

"Setelah kenaikan harga elpiji nonsubsidi yang juga digunakan pelaku usaha mikro kenaikan daya tarif listrik juga kenaikan bahan pokok termasuk telur, sekarang BBM. Itu sangat berdampak pada ongkos produksi yang mau tidak mau harus dinaikkan," ujar Hermawati kepada Republika, Senin (5/9/2022).

Kondisi UMKM, kata dia, semakin tertekan karena daya beli masyarakat menurun. Ia menuturkan, pelaku UMKM khususnya mikro berkali-kali dihajar dengan kondisi yang tidak bisa dihindari, sehingga siap tidak siap harus dapat menghadapinya.

"Seperti buah simalakama, harus ditelan meskipun pahit. Strategi harus dilakukan, ada yang mencari solusi mengganti bahan alternatif lebih murah atau mengurangi jumlah besar kecil barang produksi," jelasnya.

Dirinya melanjutkan, ada pula yang rela menerima keuntungan minim. Solusi terakhir, sambung dia, mau tidak mau harus menaikkan harga meski sedikit.

"Namun jika harga dinaikkan otomatis akan berdampak juga pada daya beli masyarakat. Artinya pendapatan UMKM akan turun," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement