Sabtu 03 Sep 2022 08:51 WIB

Putri Chandrawathi tak Ditahan, Ini yang Dipersoalkan oleh ICJR

Kerangka KUHAP saat ini banyak sekali permasalahan dalam hukum penahanan.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Teguh Firmansyah
Tersangka istri mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, Putri Chandrawathi saat mengikuti rekonstruksi di rumah dinas Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Jalan Duren Tiga Utara I, Jakarta Selatan, Selasa (30/8/2022).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Tersangka istri mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, Putri Chandrawathi saat mengikuti rekonstruksi di rumah dinas Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Jalan Duren Tiga Utara I, Jakarta Selatan, Selasa (30/8/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyoroti soal belum dilakukannya penahanan terhadap istri Ferdy Sambo, Putri Chandrawathi meski sudah berstatus tersangka. Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu, mendorong agar DPR dan Pemerintah segera merevisi KUHAP mengingat dalam kerangka hukum KUHAP saat ini banyak sekali permasalahan dalam hukum penahanan.

"Pertama, keputusan untuk menahan dalam ketentuan Pasal 21 KUHAP hanya digantungkan oleh aparat penegak hukum dalam hal ini penyidik. Padahal sistem seperti ini merupakan suatu masalah membuat sistem peradilan pidana di Indonesia tidak akuntabel," kata Erasmus dalam keterangan tertulisnya, jumat (2/9).

Baca Juga

Erasmus mengatakan Pasal 9 ICCPR menjelaskan bahwa orang yang ditahan harus segera dihadapkan kepada hakim atau pejabat lain yang diberi wewenang oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan kehakiman. Otoritas ini menawarkan jaminan yang diperlukan untuk independensi dari eksekutif dan para pihak yang terlibat dalam penahanan.

"Sehingga KUHAP harus direvisi memastikan adanya peran hakim pemeriksa pendahuluan yang betugas salah satunya menguji kebutuhan untuk menahan/tidak secara akuntabel, tidak hanya pertimbangan penyidik semata," ujarnya.

Selain itu Erasmus melihat KUHAP tidak memberikan kewajiban aparat penegak hukum untuk bagaimana secara objektif mengurai terpenuhinya syarat-syarat dapat dilakukannya penahanan. Menurut putusan pengadilan HAM Eropa Piruzyan v. Armenia, para 99-100, alasan penahanan tidak dapat dijelaskan hanya dengan narasi yang abstrak, yang berbasis stereotype ataupun adalah alasan yang diulang-ulang. Perlu ada pertimbangan kasus per kasus yang kuat tentang alasan mengapa seseorang akan melarikan diri ataupun menghalangi penyidikan.

"Hal ini tidak terjadi dalam praktik di Indonesia, jika kita lihat surat perintah penahanan, maka uraian alasan penahanan tidak pernah dijabarkan secara rinci dan kasuistis, hanya narasi copy paste yang diulang-ulang," ucapnya.

Erasmsus juga menilai KUHAP tidak mengakomodir pertimbangan HAM dan gender dalam rumusannya. Harusnya terdapat penegakan dalam KUHAP bahwa otoritas yang melakukan penahanan harus terlepas dari aparat penegak hukum, sehingga penahanan di kepolisian dan kejaksaan harus dihapuskan.

"Harus ada penekanan bahwa yang didahulukan adalah penahanan nonrutan, yang justru tidak diefektifkan di Indonesia, dan juga untuk tersangka/terdakwa dengan kerentanan tertentu misalnya ibu, perempuan hamil, lansia harus dipertimbangkan untuk dihindarkan penahanan rutan," ungkapnya.

"Sudahlah kita harusnya bisa bersepakat bahwa KUHAP sudah tak lagi mendukung sistem peradilan pidana yang akuntabel, salah satunya dalam hukum tentang penahanan yang bisa sangat tidak konsisten diterapkan oleh aparat penegak hukum utamanya penyidik," jelasnya.

Seperti diketahui, polisi tidak menahan Putri Sambo dengan alasan kemanusiaan. Putri masih memiliki anak balita.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement