Jumat 02 Sep 2022 05:37 WIB

Ketua Komisi X DPR Dorong Wajib Belajar 18 Tahun dan Ditanggung Negara

Dalam revisi UU Sisdiknas, wajib belajar 13 tahun termasuk PAUD.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Andri Saubani
Ketua Komisi X DPR yang juga Wakil Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Syaiful Huda saat dan usai menerima audiensi Poros Pelajar Nasional yang menolak revisi UU Sisdiknas, di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (1/9).
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Ketua Komisi X DPR yang juga Wakil Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Syaiful Huda saat dan usai menerima audiensi Poros Pelajar Nasional yang menolak revisi UU Sisdiknas, di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (1/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda mengatakan, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) memang perlu diperbaiki. Salah satunya adalah terkait wajib belajar sembilan tahun.

Dalam draf revisi UU Sisdiknas, wajib belajar yang sebelumnya sembilan tahun menjadi 13 tahun. Namun, ia mendorong agar wajib belajar diubah menjadi 15 tahun hingga jenjang perguruan tinggi.

Baca Juga

"Saya termasuk yang akan mendorong Wajar Dikdas (wajib belajar pendidikan dasar) 18 tahun misalnya. Ini baru ada kompromi 13 tahun, saya maunya 18 tahun. Artinya sejak PAUD, SD, SMP, SMA, perguruan tinggi," ujar Huda di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (1/9/2022).

Wajib belajar pendidikan dasar hingga perguruan tinggi itu juga harus sepenuhnya ditanggung oleh negara. Menurutnya hal tersebut dapat tercapai, mengingat 20 persen anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dialokasikan ke sektor pendidikan.

"Wajib pemerintah menanggung semuanya, gratis. Apakah mungkin? Mungkin, 20 persen anggaran kita sangat mungkin untuk itu. Cuma sekarang belum sepenuhnya untuk fungsi pendidikan," ujar Huda.

Komisi X sendiri sudah menerima berbagai penolakan agar revisi UU Sisdiknas tak dimasukkan ke program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2023. Mereka yang kontra meminta pemerintah untuk mengundang banyak pihak untuk menyusun draf revisi undang-undang tersebut.

Materi revisi UU Sisdiknas, jelas Huda, dikhawatirkan memunculkan kastanisasi pendidikan dengan adanya jalur baru persekolahan mandiri yang dilegitimasi di level undang-undang. Ditambah dengan adanya ketidakjelasan peran lembaga pendidikan, tenaga kependidikan, hingga polemik penghapusan tunjangan profesi guru harus dijawab secara seksama oleh pemerintah.

Ia menegaskan, ruang dialog terhadap revisi UU Sisdiknas harus dibuka seluas-luasnya. Masih perlu ada pertemuan-pertemuan antara pemangku kepentingan di bidang pendidikan dengan pemerintah untuk membahas revisi undang-undang tersebut.

"Secara substansi undang-undang kita memang sudah lama, Undang-Undang Nomor 20   Tahun 2003 ini secara prinsip memang sudah waktunya diubah. Nah tinggal level perubahannya itu loh harus seperti apa, nah jawaban saya tegas, harus melibatkan secara maksimal dan bermakna partisipasi seluruh stakeholder pendidikan," ujar politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.

Pemerintah tengah mengajukan RUU Sisdiknas untuk masuk ke dalam Prolegnas DPR RI tahun ini. Di mana salah satu fokusnya adalah peningkatan akses dan kualitas pendidikan anak usia dini (PAUD). Dalam RUU itu, pemerintah mengubah wajib belajar dari yang sebelumnya sembilan tahun menjadi 13 tahun.

"Dalam RUU ini kami mengubah wajib belajar dari yang sebelumnya sembilan tahun menjadi 13 tahun, yang mencakup prasekolah nonformal," ungkap Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim, dalam acara Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini (Himpaudi) di area Monas, Jakarta Pusat, Rabu (31/8/2022).

Dia menjelaskan, pihaknya melihat UU Sisdiknas yang lama cukup diskriminatif terhadap para pendidik PAUD. Maka dari itu, dalam RUU Sisdiknas pemerintah memasukan pendidik di satuan pendidikan non formal, kesetaraan, dan pesantren ke dalam kategori pendidik. Dengan demikian, para guru di satuan-satuan pendidikan tersebut ke depan akan diakui sebagai guru.

"(Di UU Sisdiknas lama) PAUD tidak masuk dalam kategori pendidikan formal. Sebagai konsekuensinya, anggaran pemerintah untuk satuan pendidikan PAUD jauh lebih rendah dibandingkan jenjang lainnya. Hal ini tentunya menghambat peningkatan kualitas satuan pendidikan PAUD dan berimbas pada mutu pembelajaran yang diterima anak-anak kita," ujar Nadiem.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement