Kamis 25 Aug 2022 11:41 WIB

Jamaah Haji Seharusnya Dapat Virtual Account dalam Jumlah Riil

Jamaah haji dengan dana terlama, nilai manfaat yang diperolehnya semakin besar

Rep: Ali Yusuf/ Red: A.Syalaby Ichsan
Nasabah mencoba fitur Pembukaan Rekening Tabungan Jamaah Haji (RTJH) dan Pembayaran Setoran Awal Porsi Haji saat peluncurannya di Jakarta, Selasa (26/4/2022). PT Bank Muamalat Indonesia Tbk meluncurkan fitur Pembukaan Rekening Tabungan Jamaah Haji (RTJH) dan Pembayaran Setoran Awal Porsi Haji melalui aplikasi mobile banking Muamalat DIN dengan cara nasabah membayar setoran awal pendaftaran haji sebesar Rp 25.000.000 melalui aplikasi Muamalat DIN untuk mendapatkan nomor porsi yang ditentukan oleh Kementerian Agama. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Nasabah mencoba fitur Pembukaan Rekening Tabungan Jamaah Haji (RTJH) dan Pembayaran Setoran Awal Porsi Haji saat peluncurannya di Jakarta, Selasa (26/4/2022). PT Bank Muamalat Indonesia Tbk meluncurkan fitur Pembukaan Rekening Tabungan Jamaah Haji (RTJH) dan Pembayaran Setoran Awal Porsi Haji melalui aplikasi mobile banking Muamalat DIN dengan cara nasabah membayar setoran awal pendaftaran haji sebesar Rp 25.000.000 melalui aplikasi Muamalat DIN untuk mendapatkan nomor porsi yang ditentukan oleh Kementerian Agama. Republika/Putra M. Akbar

IHRAM.CO.ID,JAKARTA —  Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf menyarankan pembagian dana nilai manfaat kepada jemaah yang melalui Virtual Account (VA) dapat mencerminkan pembagian yang lebih riil.  Dia mencontohkan, sepanjang tahun 2020 dana VA dialokasikan sebanyak Rp2 triliun, selanjutnya pada tahun 2021 senilai Rp2,5 triliun. 

Walaupun masing-masing jamaah haji sama-sama menyimpan uang Rp 35 juta, semestinya kebijakannya adalah jamaah haji yang dananya paling lama terendap, nilai manfaat yang diperolehnya semakin besar. Tidak hanya itu, supaya jamaah haji merasakan dampak riil keuntungan dari investasi."Maka nilai manfaat yang tersimpan di VA sudah semestinya diberikan dalam bentuk riilnya," kata dia.

Tidak cukup sampai di situ, Bukhori juga menyinggung soal koreksi yang juga diperlukan terhadap penggunaan istilah subsidi dalam konteks penyelenggaraan haji.  Untuk itu penggunaan istilah subsidi juga perlu dikaji ulang, karena sumber dana yang disebut subsidi selama ini sesungguhnya berasal dari dana milik jamaah haji yang dititipkan kepada BPKH untuk dikelola sehingga menghasilkan nilai manfaat. 

"Sebab itu, istilah yang sebenarnya lebih memadai adalah distribusi nilai manfaat, bukan subsidi," kata dia.

Cara investasi

Perolehan nilai manfaat dana haji senilai Rp 8 triliun per tahun dinilai masih didapatkan lewat investasi secara konvensional.  Bukhori mengungkapkan, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) masih mencari nilai tambah lewat jalan penempatan. 

Menurut politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, cara tersebut dikhawatirkan tidak mampu menjaga sustainabilitas keuangan haji. Anggota Badan Legislasi ini menambahkan, undang-undang pengelolaan keuangan haji mendorong BPKH untuk melakukan investasi langsung, akan tetapi dalam praktiknya BPKH belum mampu untuk memperbanyak investasi langsung.

"Mungkin karena risiko, atau karena BPKH masih tergolong lembaga baru yang lahir pada tahun 2017, jadi belum terlalu lama. Karena itu, investasinya kebanyakan hanya di penempatan. Sedangkan, jika hanya di penempatan, keuntungan yang diperoleh tidak lebih dari 6 atau 7 persen pertahun. Ini tidak akan bisa menutupi kekurangan setoran jamaah terhadap biaya riilnya," ujar dia.

Sebelumnya, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyoroti besaran subsidi dana haji, sebagaimana menurut laporan BPKH, telah mencapai 60 persen. Sementara, Bipih yang dibebankan kepada jamaah tidak sampai separuh dari BPIH. Wapres menyampaikan kekhawatirannya bahwa subsidi yang terlalu besar akan terus menggerus dana haji sehingga dapat mengganggu kesinambungan pembiayaan haji di masa mendatang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement