Rabu 24 Aug 2022 11:27 WIB

Kenaikan Suku Bunga Diharapkan Tahan Inflasi

Alasan kenaikan suku bunga pertama adalah ekspetasi inflasi meningkat di akhir tahun

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Seorang karyawan beraktivitas di dekat tayangan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta. Kenaikan suku bunga BI sebesar 25 bps menjadi 3,75 persen merupakan respon kebijakan moneter yang sifatnya pre-emptive dan forward looking. Chief Economist Bank Permata, Josua Pardede mengatakan langkah ini dalam rangka menjangkar ekspektasi inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Foto: Wahyu Putro/Antara
Seorang karyawan beraktivitas di dekat tayangan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta. Kenaikan suku bunga BI sebesar 25 bps menjadi 3,75 persen merupakan respon kebijakan moneter yang sifatnya pre-emptive dan forward looking. Chief Economist Bank Permata, Josua Pardede mengatakan langkah ini dalam rangka menjangkar ekspektasi inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kenaikan suku bunga BI sebesar 25 bps menjadi 3,75 persen merupakan respon kebijakan moneter yang sifatnya pre-emptive dan forward looking. Chief Economist Bank Permata, Josua Pardede mengatakan langkah ini dalam rangka menjangkar ekspektasi inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

"Ini mendukung terjaganya stabilitas perekonomian di tengah masih tingginya risiko perekonomian global," katanya pada Republika, Selasa (23/8).

Alasan kenaikan suku bunga yang pertama adalah ekspektasi inflasi yang meningkat di akhir tahun. Ekspektasi inflasi yang meningkat didorong oleh peningkatan harga yang barang bergejolak dan barang yang diatur pemerintah dalam 2-3 bulan terakhir.

Belum lagi, Pemerintah berpotensi melakukan penyesuaian harga BBM dalam waktu dekat. Peningkatan kedua komponen inflasi tersebut berpotensi meningkatkan inflasi inti di akhir tahun sebagai efek dari second round atau rambatan.

Faktor kedua, kata Josua, adalah output gap yang tercatat positif yang mengindikasikan peningkatan sisi permintaan. Pada kuartal II 2022 lalu, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 5,44 persen (yoy), di atas ekspektasi, yang berimplikasi pada positifnya output gap dari Indonesia.

Adapun faktor ketiga adalah potensi penurunan surplus dari transaksi berjalan pada akhir tahun, seiring dengan normalisasi harga komoditas global. Penurunan nilai transaksi berjalan berpotensi mempengaruhi fundamental nilai tukar Rupiah.

"Ini akan mempengaruhi nilai tukar rupiah mengingat ekspektasi harga komoditas yang akan melandai kedepannya," katanya.

Kenaikan suku bunga acuan BI di bulan Agustus ditujukan untuk menjangkar ekspektasi inflasi inti dalam jangka pendek-menengah. Josua mengatakan, instrumen suku bunga sendiri pada dasarnya hanya mampu menahan laju dari inflasi inti, bukan dari sisi inflasi barang bergejolak atau barang yang diatur pemerintah.

Kenaikan suku bunga diperkirakan berdampak untuk menahan permintaan untuk barang dan jasa dalam derajat tertentu, sehingga inflasi inti dapat dikendalikan. Untuk barang bergejolak sendiri, diperkirakan laju inflasinya akan mulai melambat seiring dengan musim panen di bulan Agustus-September.

Inflasi barang bergejolak berpeluang meningkat kembali di akhir tahun. Adapun untuk inflasi barang yang diatur pemerintah erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah, terutama subsidi energi.

"Inflasi di akhir tahun diperkirakan mampu mencapai 5,0-5,5 persen," katanya.

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 22-23 Agustus 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 3,75 persen, suku bunga Deposit Facility  sebesar 25 bps menjadi 3,00 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 4,50 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement