Rabu 17 Aug 2022 14:51 WIB

Perekonomian Global Melambat, Dampaknya ke Indonesia Minim

Indonesia berada pada siklus pemulihan ekonomi.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Friska Yolandha
Sejumlah kendaraan terparkir di area Bandar Udara Toraja di Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Sabtu (13/8/2022). Perlambatan perekonomian global disebut tidak akan terlalu berdampak terhadap Indonesia.
Foto: ANTARA/Arnas Padda
Sejumlah kendaraan terparkir di area Bandar Udara Toraja di Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Sabtu (13/8/2022). Perlambatan perekonomian global disebut tidak akan terlalu berdampak terhadap Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perlambatan perekonomian global disebut tidak akan terlalu berdampak terhadap Indonesia. Pasalnya, kondisi Indonesia saat ini berbeda dengan kondisi di kawasan negara maju yang cenderung mengalami perlambatan. 

"Indonesia berada pada siklus pemulihan ekonomi didukung pembukaan kembali ekonomi yang suportif bagi pertumbuhan konsumsi domestik," kata Senior Portfolio Manager, Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Samuel Kesuma, Rabu (17/8/2022).

Baca Juga

Berbagai data seperti penjualan otomotif, keyakinan konsumen, dan pertumbuhan kredit terus menunjukkan pemulihan sepanjang tahun ini. Dari sisi ketenagakerjaan, tingkat pengangguran terus menurun mengindikasikan penyerapan kerja yang membaik. 

Data pertumbuhan ekonomi mengafirmasi momentum pemulihan ini dimana ekonomi tumbuh 5,44 persen yoy di kuartal dua 2022, naik dari 5,01 persen di kuartal pertama. Saat ini, Samuel melihat risiko resesi terhadap Indonesia relatif minim karena pemulihan konsumsi domestik memberi bantalan bagi Indonesia di tengah perlambatan ekonomi global.

Inflasi domestik merangkak naik sepanjang tahun ini dan sudah melampaui batas atas target Bank Indonesia (BI). Meskipun inflasi umum meningkat mendekati 5 persen, inflasi inti - yang merupakan acuan kebijakan BI - tetap terjaga di 2,86 persen per bulan Juli. 

Dengan inflasi inti yang masih terjaga, menurut Samuel, memang belum ada urgensi bagi BI untuk menaikkan suku bunga sejauh ini. Menariknya, nilai tukar Rupiah merupakan salah satu nilai tukar dengan kinerja terbaik di Asia tahun ini, walau BI belum menaikkan suku bunga, mengindikasikan keyakinan pasar terhadap kredibilitas kebijakan moneter BI. 

Pada dasarnya pengetatan kebijakan moneter sudah dilakukan secara gradual sepanjang tahun ini. Selain suku bunga untuk menyerap likuiditas domestik, BI juga memiliki alat kebijakan seperti melalui kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM). Sepanjang tahun ini GWM sudah naik dari 3,5 persen menjadi 7,5 persen di Juli. 

"Namun seiring dengan pemulihan ekonomi, kami melihat inflasi inti akan naik secara gradual sehingga BI berpotensi menaikkan suku bunga ke level 4,0 - 4,25 persen tahun ini," kata Samuel.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement