Ahad 14 Aug 2022 22:08 WIB

Pengamat: Hanya Pembatasan yang Dapat Cegah Jebol Kuota BBM Subsidi

Ada dua kebijakan yang dapat mencegah jebolnya BBM bersubsidi.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Friska Yolandha
Plang pemberitahuan habisnya BBM jenis Pertalite di SPBU 34-16117, Pasir Mulya, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (11/8/2022). SPBU di wilayah Bogor mengalami kelangkaan BBM jenis Pertalite dan Pertamax akibat belum datangnya pasokan dari Pertamina. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Plang pemberitahuan habisnya BBM jenis Pertalite di SPBU 34-16117, Pasir Mulya, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (11/8/2022). SPBU di wilayah Bogor mengalami kelangkaan BBM jenis Pertalite dan Pertamax akibat belum datangnya pasokan dari Pertamina. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi sinyal kuat rencana pemerintah menaikan harga BBM jenis Pertalite. Fahmy menyebut hal ini kian diperjelas dengan pernyataan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia.

"Tidak bisa dihindari kenaikan harga Pertalite karena kuota Pertalite hampir jebol," ujar Fahmy saat dihubungi Republika.co.id di Jakarta, Ahad (14/8/2022).

Baca Juga

Fahmy menyampaikan pemerintah tengah menghadapi situasi yang sulit. Pasalnya, konsumsi BBM Pertalite hingga Juli 2022 sudah mencapai 16,8 juta kiloliter (KL) setara dengan 73,04 persen dari total kuota ditetapkan sebesar 23 juta KL, sehingga hanya tersisa 6,2 KL. Fahmy memprediksi kuota BBM subsidi akan jebol paling lama pada akhir Oktober 2022 apabila upaya pembatasan konsumsi Pertalite tidak berhasil.

"Pemerintah akan dihadapkan pada dilema yang sulit. Jika menambah kuota BBM subsidi, beban APBN untuk subsidi bisa semakin membengkak hingga melebihi Rp 600 triliun. Jika tidak menambah kuota BBM subsidi, maka kelangkaan akan terjadi di berbagai SPBU, yang berpotensi menyulut keresahan sosial," ucap Fahmy.

Fahmy juga mengkritik Menteri ESDM Arifin Tastrif yang hanya bisa mengimbau agar orang kaya tidak menggunakan BBM subsidi. Fahmy menilai imbauan Arifin tidak punya makna sama sekali. Menurut Fahmy, konsumen adalah makhluk rasional yang mempunyai price elasticity akan tetap mengkonsumsi BBM dengan harga lebih murah selama belum ada larangan.

"Arifin melupakan tabung LPG 3 kg tertulis hanya untuk orang miskin, faktanya lebih 60 persen kosumen yang bukan miskin tetap mengkonsumsi gas melon karena distribusi terbuka," ucapnya.

Fahmy mengatakan hanya pembatasan yang tegas dan lugas yang dapat mencegah jebolnya kuota BBM subsidi. Bagi Fahmy, platform MyPertamina tidak akan berhasil membatasi BBM subsisdi agar tepat sasaran. Bahkan, justru menimbulkan ketidak-tepatan sasaran dan ketidak-adilan bagi konsumen yang tidak punya akses.

Fahmy menyebut ada dua kebijakan yang dapat mencegah jebolnya BBM bersubsidi. Pertama, segera menetapkan dalam Perpres bahwa hanya sepeda motor dan kendaraan angkutan orang dan angkutan barang yang diperbolehkan menggunakan Pertalite dan solar.

"Kedua, dengan menurunkan disparitas antara harga Pertamax dan Pertalite, dengan menaikan harga Pertalite dan menurunkan harga Pertamax secara bersamaan maksimal selisih harga sebesar Rp. 1.500 per liter. Kalau kenaikan harga Pertalite dan penurunan harga Pertamax disertai pembatasan, dampak inflasi tidak signifikan," ucap Fahmy.

Fahmy berharap kebijakan harga ini akan mendorong konsumen Pertalite migrasi ke Pertamax secara sukarela. Selain itu, perlu juga dilakukan komunikasi publik secara besar-besaran bahwa penggunaan Pertamax sesungguhnya lebih baik untuk mesin kendaraan dan lebih irit.

"Untuk mencegah jebolnya kuota BBM bersubsidi tidak bisa hanya dengan mengeluh dan mengimbau saja. Namun perlu kebijakan tegas dan lugas yang segera diberlakukan, tidak mundar-mundur saja," katanya menambahkan.

 

Muhammad Nursyamsi

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement