Ahad 14 Aug 2022 04:45 WIB

Studi: Dampak UU 21, Kaum Agama Minoritas di Quebec Merasa Kurang Aman 

UU 21 melarang pekerja sektor publik menggunakan simbol agama saat bekerja.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Ani Nursalikah
Muslim Kanada. Studi: Dampak UU 21, Kaum Agama Minoritas di Quebec Merasa Kurang Aman 
Muslim Kanada. Studi: Dampak UU 21, Kaum Agama Minoritas di Quebec Merasa Kurang Aman 

REPUBLIKA.CO.ID, QUEBEC -- Sebuah penelitian baru menemukan pemeluk agama minoritas di Quebec, Kanada, khususnya wanita Muslim, merasa kurang aman dan kurang diterima dalam tatanan sosial masyarakat sejak diadopsinya undang-undang sekulerisme provinsi yang umumnya dikenal sebagai UU 21.

Penelitian tersebut digambarkan sebagai penelitian "paling luas" tentang bagaimana undang-undang tersebut mempengaruhi warga Quebec non-Kristen. Penelitian ini diterbitkan pada Rabu lalu oleh Leger dan Asosiasi Studi Kanada.

Baca Juga

Ditemukan mereka yang mengidentifikasi diri sebagai Muslim, Yahudi, dan Sikh mengungkapkan dampak negatif yang luas, mengganggu, dan mendalam akibat UU 21. “Responden Muslim, Yahudi, dan Sikh menggambarkan dalam kehidupan sehari-hari mereka terpapar sikap dan perilaku yang secara langsung mempengaruhi rasa penerimaan dan keamanan mereka, keterlibatan sipil dan rasa pemenuhan, kesejahteraan, dan harapan,” kata penulis penelitian, yang dilaporkan Montreal Gazette, dilansir dari About Islam, Sabtu (13/8/2022).

Memudarnya harapan untuk generasi berikutnya sangat mencolok di ketiga komunitas tersebut. Penelitian ini menggabungkan survei Quebec secara keseluruhan dari Leger dan survei ACS terhadap minoritas agama, termasuk 632 Muslim, 165 Yahudi, dan 56 Sikh. Sebanyak 1.828 warga Quebec memberi tanggapan untuk mengukur persepsi dan pengalaman hukum sejak tiga tahun lalu.

RUU Kontroversial

Undang-Undang Quebec 21 melarang pekerja sektor publik menggunakan simbol seperti jilbab, kippah, atau turban saat bekerja. Disahkan pada Juni 2019, RUU 21 telah menuai kritik luas sebagai pelanggaran kebebasan beragama, hak-hak sipil dan kelompok agama mengatakan peraturan itu akan secara tidak proporsional merugikan perempuan Muslim, yang sudah terpinggirkan.

RUU itu sebagian dikuatkan oleh pengadilan Quebec tahun lalu, sementara Dewan Nasional Muslim Kanada (NCCM) dan Asosiasi Kebebasan Sipil Kanada (CCLA) mengajukan banding. “Kesaksian tentang insiden kebencian dan kejahatan kebencian sangat mengganggu,” kata pemimpin peneliti Miriam Taylor dari Asosiasi Studi Kanada (ACS), yang bermitra dengan Leger Marketing untuk penelitian tersebut.

"Orang-orang yang jilbabnya dirobek, diludahi, dan diceramahi dengan cara yang sama sekali tidak menunjukkan rasa hormat, tidak ada rasa kesopanan normal yang ditunjukkan orang satu sama lain ketika mereka orang asing," ujarnya.

Berdasarkan penelitiannya, Taylor mengatakan dia dapat menyimpulkan undang-undang sekulerisme telah menciptakan iklim yang menyambut tanggapan semacam ini. “Kita tahu hukum memiliki dampak normatif. Ketika hukum diberlakukan, mereka menjadi norma, mereka menormalkan perilaku, dan opini negatif tentang simbol agama non-Kristen terkait langsung dengan UU 21," kata Taylor.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement