Rabu 10 Aug 2022 09:54 WIB

China Alami Krisis Properti

Ratusan orang di China melakukan unjuk rasa dan menolak bayar cicilan kredit rumah.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Nidia Zuraya
Kompleks bangunan apartemen (ilustrasi). China sedang mengalami krisis properti. Para nasabah KPR menolak membayar cicilannya karena pembangunan konstruksi terhenti.
Foto: Republika/Adhi.Wicaksono
Kompleks bangunan apartemen (ilustrasi). China sedang mengalami krisis properti. Para nasabah KPR menolak membayar cicilannya karena pembangunan konstruksi terhenti.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- China sedang mengalami krisis properti. Para nasabah KPR menolak membayar cicilannya karena pembangunan konstruksi terhenti.

Warga melakukan protes pada Juni 2022 karena tidak ada tanda-tanda rumah mereka akan kembali melanjutkan pembangunan. Ratusan orang melakukan unjuk rasa dan menolak bayar cicilan perumahan.

Baca Juga

Ini adalah langkah krusial bagi China. Pasangan muda yang baru pindah ke Zhengzhou mengatakan pada BBC bahwa setelah membayar uang muka, pengembang perumahannya mundur dan proyek dan konstruksi terhenti.

"Saya sudah membayangkan senangnya tinggal di rumah baru, tapi sekarang semuanya terasa konyol," katanya, yang menolak disebut namanya.

 

Setelah konstruksi terhenti, ia sama sekali tidak membayar cicilan rumahnya. Perempuan usia 20-an itu bukan satu-satunya yang punya nasib sama. Nasabah KPR ini bersikeras tidak ingin membayar.

Ini berbeda dengan krisis US subprime mortgage pada 2008 yang memang masyarakatnya tidak bisa bayar. Menurut S&P Global Ratings, kerugian karena boikot cicilan KPR di China ini mencapai 145 miliar dolar AS.

Menurut lembaga think tank Oxford Economics, boikot ini akan memperburuk citra properti China dan ancaman serius pada sektor keuangan. Sektor properti menempati sepertiga pangsa output ekonomi di China, ini termasuk perumahan, sewa, layanan broker, apartemen, hingga material konstruksi.

Ekonomi China memang terus melambat pada beberapa kuartal belakangan. Pada kuartal II 2022, pertumbuhan ekonomi hanya 0,4 persen (yoy). Sejumlah ekonom memprediksi tidak ada pertumbuhan tahun ini.

Hal ini terjadi karena strategi zero Covid yang menetapkan kembali kebijakan lockdown sehingga berimbas pada pendapatan, investasi dan tabungan masyarakat. Kepala Riset Ekonomi China Standard Chartered, Ding Shuan mengatakan krisis properti kali ini akan tergantung pada kebijakan pemerintah.

"Tidak seperti negara lain yang berhasil keluar dari bubbles property karena pengaruh pasar, di sini harus diatur pemerintah," katanya.

Sebanyak 30 perusahaan real estate sudah gagal bayar utang luar negerinya. Evergrande yang bangkrut karena utang sebesar 300 miliar dolar AS tahun adalah contoh keras bahwa krisis semakin nyata.

S&P memperingatkan jika penjualan tidak kembali pulih, lebih banyak perusahaan akan mengalami nasib sama. Permintaan perumahan juga dilaporkan tidak meningkat karena perubahan demografi, urbanisasi, dan populasi yang terus menurun.

Ekonom Senior di Capital Economics, Julian Evans-Pritchard mengatakan, ini adalah isu yang fundamental. China sudah hampir mencapai titik balik pada pasar propertinya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement