Rabu 10 Aug 2022 00:55 WIB

Perempuan Afghanistan tidak akan Berhenti Memperjuangkan Haknya

Perempuan Afghanistan masih perjuangkan hak mereka setahun setelah Taliban berkuasa

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Perempuan Afghanistan masih memperjuangkan hak mereka setahun setelah Taliban kembali berkuasa.
Foto: AP/Felipe Dana
Perempuan Afghanistan masih memperjuangkan hak mereka setahun setelah Taliban kembali berkuasa.

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Monesa Mubarez dan perempuan Afghanistan lainnya masih memperjuangkan hak mereka setahun setelah Taliban kembali berkuasa. Mubarez tidak akan melepaskan hak yang telah dia dapatkan selama 20 tahun pemerintahan yang didukung Barat.

Sebelum Taliban mengambil alih Afghanistan, Mubarez yang berusia 31 tahun itu menjabat sebagai direktur pemantauan kebijakan di Kementerian Keuangan. Dia adalah salah satu dari sebagian besar wanita di kota-kota besar Afghanistan yang mendapatkan kebebasan dan hak untuk berkarya. Kebebasan ini tidak dapat diimpikan oleh generasi perempuan sebelumnya yang hidup di bawah kepemimpinam Taliban pada akhir 1990an hingga 2001.

Sejak Taliban kembali berkuasa pada Agustus 2021, Mubarez tidak memiliki pekerjaan. Interpretasi ketat Taliban terhadap hukum Islam telah membatasi perempuan untuk bekerja dan mengenyam pendidikan. Taliban menutup sekolah menengah untuk anak perempuan di seluruh negeri. Di bawah kepemimpinan Taliban, tidak ada peran perempuan di kabinet dan Kementerian Urusan Perempuan telah ditutup.

"Satu perang berakhir, tetapi pertempuran untuk menemukan tempat yang layak bagi perempuan Afghanistan telah dimulai. Kami akan bersuara menentang setiap ketidakadilan sampai nafas terakhir," kata Mubarez, yang merupakan salah satu juru kampanye paling terkemuka di Ibu Kota Kabul.

Mubarez ikut mengambil bagian dalam beberapa aksi protes. Dia bertekad untuk melindungi dan memperjuangkan hak-haknya dengan keras. Namun aksi protes itu telah mereda menyusul pembubaran oleh pasukan Taliban. Mubarez terakhir kali mengikut aksi protes pada 10 Mei.

Kendati tak ada lagi aksi protes, Mubarez dan beberapa wanita lainnya kerap melakukan pertemuan di kediamannya untuk membahas hak-hak perempuan. Dia mendorong perempuan Afghanistan lainnya untuk bergabung dalam pertemuan tersebut.

Pertemuan seperti itu hampir tidak terpikirkan saat terakhir kali Taliban memerintah Afghanistan. Dalam satu pertemuan pada Juli, Mubarez dan sekelompok wanita Afghanistan lainnya duduk melingkar di lantai. Mereka berbicara tentang pengalaman mereka dan meneriakkan sejumlah kata termasuk "makanan", "pekerjaan" dan "kebebasan" seolah-olah mereka sedang menggar aksi protes di jalanan.

"Kami berjuang untuk kebebasan kami sendiri, kami memperjuangkan hak dan status kami, kami tidak bekerja untuk negara, organisasi, atau agen mata-mata. Ini adalah negara kami, ini adalah tanah air kami, dan kami memiliki hak untuk tinggal di sini," kata Mubarez kepada Reuters.  

Perwakilan negara untuk UN Women di Afghanistan, Alison Davidian, mengatakan cerita seperti Mubarez terus diulang di seluruh negeri. Menurut Davidian, wanita Afghanistan tidak memiliki kebebasan seperti wanita pada umumnya di negara lain. Wanita Afghanistan yang memperjuangkan haknya dianggap sebagai pembangkang.

"Bagi banyak wanita di seluruh dunia, berjalan di luar pintu depan rumah Anda adalah bagian biasa dari kehidupan. Sementara bagi banyak wanita Afghanistan, ini luar biasa. Ini adalah tindakan pembangkangan," ujar Davidian.

Taliban memberlakukan aturan ketat bagi wanita. Salah satunya, wanita yang keluar rumah harus didampingi oleh kerabat laki-laki. Namun penerapan aturan tersebut tidak jelas. Di pusat kota yang relatif liberal seperti Kabul, para wanita sering bepergian tanpa pendamping laki-laki. Sementara di daerah yang lebih konservatif, yaitu di sebagian besar wilayah selatan dan timur, semua wanita wajib didampingi oleh kerabat laki-laki ketika mereka melakukan perjalanan lebih dari 78 kilometer.

Perlakuan Taliban terhadap anak perempuan dan perempuan adalah salah satu alasan utama masyarakat internasional menolak untuk mengakui Taliban sebagai penguasa Afghanistan. Mereka juga memotong bantuan dana senilai miliaran dolar bagi Afghanistan, sehingga memperburuk krisis ekonomi.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement