Jumat 05 Aug 2022 19:06 WIB

Bahaya Merokok, Berpengaruh Terhadap Prevalensi Stunting di Indonesia

Perlu revisi PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang zat adiktif bagi perlindungan anak.

Rep: dian fath risalah/ Red: Hiru Muhammad
Pekerja menata rokok yang etalasenya ditutup kain di salah satu minimarket di kawasan Jakarta Pusat, Rabu (15/9/2021). Penutupan etalase rokok tersebut dilakukan berdasarkan Seruan Gubernur DKI Jakarta nomor 8 tahun 2021 tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Merokok sebagai upaya melindungi masyarakat dari bahaya rokok.
Foto: Antara/Ampelsa
Pekerja menata rokok yang etalasenya ditutup kain di salah satu minimarket di kawasan Jakarta Pusat, Rabu (15/9/2021). Penutupan etalase rokok tersebut dilakukan berdasarkan Seruan Gubernur DKI Jakarta nomor 8 tahun 2021 tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Merokok sebagai upaya melindungi masyarakat dari bahaya rokok.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Rokok menjadi sumber masalah kesehatan bagi banyak orang. Tidak hanya kepada perokok itu sendiri, paparan asap yang ditimbulkan dari rokok juga berpengaruh terhadap kesehatan orang lain. Salah satunya bahaya yang ditimbulkan dari rokok adalah stunting.

Ketua Ikatan Ahli Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dr. Ede Surya Darmawan, SKM., MDM mengungkapkan perlunya revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang zat adiktif agar bisa memperkuat perlindungan anak terhadap produk rokok. Di antara regulasi yang sangat dinanti-nanti oleh IAKMI adalah perlunya pembuatan aturan larangan menjual rokok secara ketengan alias batangan.

Baca Juga

Selain itu, IAKMI juga mendorong pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok di berbagai media, baik di luar ruang, dalam ruang, televisi, dan media digital, termasuk internet. "Ada Bapak merokok di Samping ibu yang sedang hamil, saat menyusui dan lain-lain. Itu kan potensi anak dalam kandungan menjadi stunting. Jadi proses pendidikan merokok sejak dini. Kalau kita berjuang untuk pendidikan anak sejak dini, nah perokok itu mendidik anaknya merokok sedini mungkin,” kata Ede, Jumat (5/8).

Ketua Tobacco Control Support Center (TCSC) IAKMI dr. Sumarjati Arjoso, SKM menyebut, jumlah perokok pada anak di bawah 18 tahun jumlahnya meningkat. Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), dan Sentra Informasi Keracunan Nasional (Sikernas) dari BPOM menyebutkan ada 3 dari 4 orang mulai merokok di usia kurang dari 20 tahun.

Prevalensi perokok anak terus naik setiap tahunnya, pada 2013 prevalensi perokok anak mencapai 7,20 persen, kemudian naik menjadi 8,80 persen tahun 2016, 9,10 persen tahun 2018, 10,70 persen tahun 2019. Jika tidak dikendalikan, prevalensi perokok anak akan meningkat hingga 16 persen di tahun 2030. “Kami audiensi ke BKKBN bertemu Pak Hasto ingin mendapatkan masukan, karena seperti kita ketahui prevalensi tembakau pada anak remaja sulit sekali untuk dikendalikan,” ujar Sumarjati.

Menanggapi hal tersebut, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mendukung penuh upaya IAKMI dalam menekan prevalensi perokok pada anak. Hasto pun menyebut rokok erat kaitannya dengan stunting.

“Kita ini melihat bahwa bayi yang lahir panjang badan kurang dari 48 sentimeter masih 22,6 persen. Menurut Riskesda 2018 yang lahir prematur masih 29,5 persen. Cukup tinggi. Sementara pengaruh rokok itu terbukti kan semua sepakat dari hasil katakan lah dari meta analisa atau statistika review itu semua menunjukan bahwa pengaruh rokok adalah janin tumbuh lambat. Secara ilmiah antara rokok dan pertumbuhan janin ini sudah terbukti dan sangat signifikan,” ujar Hasto.

Hasto menyebut, peran orangtua dalam hal ini seorang Ayah harus benar-benar melindungi anggota keluarganya dari bahaya paparan asap rokok. Jika terpaksa, Hasto pun meminta untuk merokok di luar rumah dan jauh dari jangkauan keluarga.“Kalau kita melarang orang merokok itu hampir pasti kita gagal. Tapi kalau mencegah orang merokok kemungkinan sukses besar. Oleh karena itu sebaiknya kita mencegahnya lewat perokok baru atau anak-anak ini,” tutur Hasto.

Di Indonesia saat ini, kematian karena 33 penyakit yang berkaitan dengan perilaku merokok mencapai 230.862 pada tahun 2015, dengan total kerugian makro mencapai Rp 596,61 triliun. Tembakau membunuh 290.000 orang setiap tahunnya di Indonesia dan merupakan penyebab kematian terbesar akibat penyakit tidak menular.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement