Kamis 04 Aug 2022 19:54 WIB

Laba Bersih PPA Naik 58 Persen dari Tahun Lalu

Kinerja keuangan PPA mendapat afirmasi dari S&P Global Ratings dan Fitch Ratings.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Nidia Zuraya
PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero)
Foto: Facebook PT Perusahaan Pengelola Aset
PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) mencatatkan pertumbuhan laba usaha konsolidasi yang signifikan hingga 187 persen pada paruh pertama 2022 dari periode yang sama pada tahun sebelumnya atau yoy. Direktur Utama PPA Yadi Jaya Ruchandi mengatakan, perusahaan juga mampu meningkatkan laba bersih sebesar 58 persen secara yoy.

"PPA telah melakukan sejumlah langkah strategis untuk menghasilkan pertumbuhan yang berkelanjutan, mulai dari transformasi organisasi, penguatan struktur permodalan dan likuiditas, penyempurnaan proses bisnis, penguatan manajemen risiko, hingga perbaikan kualitas portofolio aset," ujar Yati dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (4/8/2022).

Baca Juga

Yadi menjelaskan PPA merupakan National Asset Management Company (NAMCO) yang berperan menjadi instrumen strategis pemerintah dalam meningkatkan nilai BUMN melalui restrukturisasi dan revitalisasi BUMN, pengelolaan non-performing loan (NPL) perbankan, serta solusi inovatif dan efektif special situations fund (SSF).

Berdasarkan amanat yang diberikan pemerintah, ucap Yadi, PPA memiliki peran sebagai instrumen strategis dalam mengoptimalisasi nilai dari aset-aset BUMN maupun ekosistem BUMN melalui tiga pilar bisnis utama, yaitu restrukturisasi dan revitalisasi BUMN, pengelolaan NPL perbankan, serta solusi investasi SSF.

Yadi menyebut PPA secara intensif menjalankan strategi turnaround atas sejumlah BUMN titip kelola melalui restrukturisasi dan memfokuskan kembali pada core business unggulan guna mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan. PPA juga sedang menjajaki kerja sama dalam pengelolaan NPL dengan sejumlah bank.

"Dari pilar bisnis SSF, PPA telah melakukan sejumlah langkah strategis untuk mengoptimalisasi nilai dari ekosistem BUMN melalui solusi advisory dan investasi," ucap Yadi.

Perbaikan kinerja keuangan PPA mendapat afirmasi dari dua lembaga pemeringkat internasional, yaitu S&P Global Ratings dan Fitch Ratings. S&P Global Ratings dalam laporan riset yang dirilis Juli lalu meningkatkan rating outlook jangka panjang PPA menjadi stabil. Bersamaan dengan itu, S&P Global Ratings juga meningkatkan profil kredit mandiri (stand-alone credit profile/SACP) PPA serta menegaskan issuer credit ratings PPA dengan predikat BB/B.

Yadi menilai penguatan peringkat PPA merefleksikan peningkatan struktur permodalan PPA yang mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah. S&P Global Ratings menilai PPA memiliki basis permodalan yang kuat dengan pendekatan yang lebih berhati-hati terhadap pertumbuhan aset, meskipun ada tantangan ekonomi dari faktor eksternal.

Menurut Yadi, lembaga pemeringkat juga menilai manajemen PPA mampu mengendalikan volatilitas yang terjadi, bahkan mampu menginisiasi fase ekspansi yang sejalan dengan rencana transformasi perusahaan.

Dalam laporan terpisah, Fitch Ratings juga memberikan outlook stabil dan menaikkan SACP PPA karena adanya peningkatan profil keuangan perusahaan. Fitch Ratings juga memberikan penilaian ‘AA(idn)’ atas obligasi nasional yang diterbitkan PPA. Peringkat ‘AA’ menunjukkan tingkat risiko gagal bayar yang sangat rendah dibandingkan dengan emiten atau obligasi lainnya.

Fitch Ratings menilai status, kepemilikan, dan kontrol yang sangat kuat dari Pemerintah menjadi faktor penentu yang menunjukkan dukungan penuh terhadap PPA. Selain itu, PPA dinilai berada di lingkungan operasi yang stabil tanpa persaingan pasar yang signifikan.

"Afirmasi dari S&P Global Ratings dan Fitch Ratings memberikan motivasi bagi kami untuk terus memperbaiki dan meningkatkan kinerja perusahaan sehingga dapat memberikan nilai dan dampak yang signifikan bagi negara," lanjut Yadi.

Dalam laporannya, S&P Global Ratings juga menyoroti risiko yang dihadapi sektor perbankan tetap tinggi pascapandemi, terutama setelah perpanjangan masa relaksasi restrukturisasi kredit perbankan berakhir pada 31 Maret 2023. NPL diperkirakan akan tetap stabil pada 2022, namun terdapat loan at risk (LAR) yang berpotensi menjadi NPL dengan kisaran 1:10 sampai 1:8. Sementara untuk 2024, S&P memproyeksikan adanya peningkatan rasio NPL menjadi lima persen setelah berakhirnya kebijakan relaksasi.

"PPA memiliki pengalaman dan rekam jejak dalam pengelolaan NPL perbankan di Indonesia. Solusi inventif dengan skema off-balance sheet yang sukses kami implementasikan dalam penyelesaian aset berkualitas rendah PT Bank Muamalat Indonesia Tbk diharapkan dapat memfasilitasi penyelesaian NPL bagi industri finansial secara luas," kata Yadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement