Ahad 31 Jul 2022 22:44 WIB

Kemenperin: PP No 109/2012 Masih Relevan dengan IHT

Kemenperin sebut PP No 109/2012 atur semua aspek termasuk industri hasil tembakau

Rep: Novita Intan/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pekerja mengemas rokok yang telah memiliki Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC) di UKM Oryza Group, Desa Tanjung Selamat, Aceh Besar, Aceh. Kementerian Perindustrian menilai Peraturan Pemerintah No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan masih relevan dengan kondisi industri.
Foto: ANTARA/Irwansyah Putra
Pekerja mengemas rokok yang telah memiliki Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC) di UKM Oryza Group, Desa Tanjung Selamat, Aceh Besar, Aceh. Kementerian Perindustrian menilai Peraturan Pemerintah No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan masih relevan dengan kondisi industri.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian menilai Peraturan Pemerintah No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan masih relevan dengan kondisi industri.

Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian Edy Sutopo mengatakan aturan tersebut telah mengatur berbagai aspek, termasuk industri hasil tembakau yang berkaitan dengan operasinya.

"PP 109 sudah cukup baik dan masih relevan, karena penetapannya telah mempertimbangkan berbagai kepentingan dan disepakati pada waktu itu," ujarnya dalam keterangan tulis, Ahad (31/7/2022).

Menurut Edy, hal yang perlu dilakukan adalah melakukan evaluasi penerapannya secara menyeluruh, mengingat selama ini hal tersebut belum dilakukan. Adapun salah satu evaluasi yang direkomendasikan Kemenperin yakni perlunya meningkatkan edukasi terhadap anak-anak untuk menurunkan prevalensi perokok anak.

"Menurut kami, untuk menurunkan prevalensi perokok anak, utamanya adalah edukasi, baik kepada masyarakat luas, melalui pendidikan formal, non formal, hingga keagamaan," ucapnya.

Kemudian, lanjut Edy, terkait perlindungan bagi masyarakat yang tidak merokok, perlu ditingkatkan fasilitas perokok, bahkan di kawasan tanpa rokok. Edy menilai, wacana merevisi PP 109 Tahun 2012 belum perlu dilakukan, karena industri hasil tembakau baru mulai pulih dari dampak pandemi Covid-19.

"Industri rokok sebenarnya masih suffer. Kalau kita lihat pada masa pandemi, pada 2020 terjadi kontraksi minus 5,78 persen. Pada 2021 meskipun sudah mulai membaik, tapi tetap masih pada posisi kontraksi, yaitu minus 1,36 persen," ucapnya.

Terlebih, situasi global yang belum menentu menyebabkan kenaikan bahan baku, bahan penolong, hingga biaya logistik. Tak tertinggal dampak perang Rusia-Ukraina yang meluas dan memengaruhi pasar di Amerika hingga Eropa, kedua kawasan tersebut terancam resesi.

Pada situasi yang sulit ini, lanjut Edy, Indonesia perlu berhati-hati. Hal ini karena industri hasil tembakau di Indonesia menyumbang sekitar lebih dari Rp 200 triliun penerimaan negara pajak dan bukan pajak.

"Artinya, bahwa industri ini salah satu tulang punggung. Menurut kami kita perlu sama-sama berhati-hati," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement