Ahad 31 Jul 2022 16:45 WIB

Ekonom Proyeksi Inflasi Tahunan Juli 2022 Tembus 4,8 Persen

Ekonom Core Indonesia yakin harga pangan jadi pemicu inflasi tahunan Juli 2022

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pedagang menata telur ayam di Pasar Bitingan, Kudus, Jawa Tengah. Para ekonomi memproyeksi kenaikan laju inflasi tahunan untuk periode bulan Juli 2022 melanjutkan tren kenaikan dari sebelumnya. Harga pangan mendominasi faktor pemicu kenaikan inflasi.
Foto: ANTARA/Yusuf Nugroho
Pedagang menata telur ayam di Pasar Bitingan, Kudus, Jawa Tengah. Para ekonomi memproyeksi kenaikan laju inflasi tahunan untuk periode bulan Juli 2022 melanjutkan tren kenaikan dari sebelumnya. Harga pangan mendominasi faktor pemicu kenaikan inflasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ekonomi memproyeksi kenaikan laju inflasi tahunan untuk periode bulan Juli 2022 melanjutkan tren kenaikan dari sebelumnya. Harga pangan mendominasi faktor pemicu kenaikan inflasi.

Adapun data inflasi akan dirilis oleh Badan Pusat Statistik pada Senin (1/8/2022) besok. Pada Juni lalu, BPS mencatat inflasi secara bulanan mencapai 0,61 persen month to month (mtm) dan secara tahunan mencapai 4,35 persen year on year (yoy).

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, memproyeksi inflasi Juli secara bulanan akan melandai di kisaran 0,58 persen mtm. Namun akan mengalami kenaikan secara tahunan menjadi 4,8 persen.

"Kami melihat di sepanjang Juli kemarin, inflasi yoy masih di kisaran 4,5 persen hingga 4,8 persen, sehingga masih mempertahankan tren peningkatan inflasi yang relatif tinggi di tahun ini," katanya kepada Republika.co.id, Ahad (31/7/2022).

Yusuf menuturkan, harga pangan masih menjadi faktor utama kenaikan inflasi. Terutama harga pangan yang diproduksi di dalam negeri karena adanya fluktuasi harga yang dipicu oleh faktor musiman seperti cuaca. Hanya saja, kenaikan harga selama Juli tidak begitu tinggi.

Kenaikan harga pangan yang cukup signifikan terutama pada daging sapi karena terdapat momen hari Raya Idul Adha. Selain itu, penyesuaian harga-harga BBM non subsidi Pertamina seperti Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex juga turun mempengaruhi inflasi.

Di sisi lain, Yusuf menuturkan, harga-harga pangan impor seperti gandum dan kedelai turut berpengaruh pada inflasi pangan di dalam negeri meski tidak berkontribusi besar.

"Produk pangan impor ada pengaruhnya namun ada peluang harga global melandai dan ini terus berlanjut," kata Yusuf. Menurutnya, potensi penurunan harga komoditas global didorong oleh resesi ekonomi di Amerika Serikat yang akan diikuti oleh negara-negara lain. Situasi itu, akan menurunkan permintaan barang dan jasa sehingga harga komoditas dapat ikut melandai.

Tak jauh berbeda, Ekonom Indonesia Development and Islamic Studies, Askar Muhammad, mengatakan, inflasi yoy Juli kemungkinan akan berada pada rentang 4,2 persen hingga 4,5 persen. Ia mengatakan, pangan lokal menjadi pemicu utama tren kenaikan inflasi saat ini.

Askar mengatakan, tren harga-harga konsumen ke depan memang akan terus bergerak naik. Pasalnya, para produsen mulai melakukan penyesuaian harga setelah sebelumnya menahan kenaikan harga-harga karena melihat daya beli konsumen yang belum kuat.

Pada Juni lalu, indeks harga perdagangan besar (IHPB) tercatat 4,96 persen yoy atau diatas dari inflasi konsumen 4,35 persen. "Saat ini ekonomi mulai pulih, kemiskinan juga turun walau ketimpangan meningkat, jadi produsen sudah bisa melakukan penyesuaian harga," ujar dia.

Ia menilai, kenaikan inflasi saat ini cukup mencerminkan adanya peningkatan daya beli yang berdampak pada naiknya pemrintaan. Indikasi itu terlihat dari aktivitas masyarakat yang bahkan telah membaik bahkan melampaui situasi sebelum pandemi.

Menurutnya, inflasi hingga Juli masih cenderung aman meskipun dalam tren kenaikan. "Yang harus diwaspadai inflasi Agustus, seterusnya karena ada kenaikan suku bunga," katanya.

Kenaikan suku bunga bank sentral AS The Fed sebesar 75 basis poin pada Juli, berpotensi menyebabkan pelemahan nilai tukar rupiah. Sebab, mata uang dolar yang berada di negara berkembang akan kembali ke AS imbas suku bunga yang naik.

Depresiasi rupiah dalam jangka panjang, kata Askar, berakibat buruk pada harga-harga bahan baku impor yang digunakan industri dalam negeri karena akan lebih maha. Kenaikan harga bahan baku impor pun tak menutup kemungkinan akan mempengaruhi kinerja keuangan industri manufaktur hingga menekan kemampuan serapan tenaga kerja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement