Ahad 31 Jul 2022 08:53 WIB

Apa Status Pengakuan yang Muncul dari Anak Kecil Terhadap Akad?

Anak kecil yang belum aqil baligh belum berlaku baginya ketentuan hukum

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi anak kecil. Anak kecil yang belum aqil baligh belum berlaku baginya ketentuan hukum
Foto: REPUBLIKA
Ilustrasi anak kecil. Anak kecil yang belum aqil baligh belum berlaku baginya ketentuan hukum

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Anak kecil atau orang yang belum baligh diketahui secara umum tidak memiliki kecakapan berpikir selayaknya orang dewasa sehingga dalam hal ini, pengakuan dari anak kecil pun masih dibatasi.  

Imam Syafii dalam kitab Al Umm menjelaskan, semua pengakuan yang disampaikan oleh anak kecil, baik berupa hak yang menyangkut Allah SWT maupun yang menyangkut hak adamiy atau berupa hak pada hartanya, atau yang lainnya, maka pengakuan anak kecil itu gugur darinya. 

Baca Juga

Adalah sama dalam ketentuan ini apakah anak kecil yang melakukan pengakuan itu adalah anak kecil yang mendapatkan izin untuk berniaga dari ayahnya, walinya siapapun itu, atau dari penguasa. 

Meski sebenarnya penguasa tidak boleh memberi izin kepada anak kecil untuk berniaga. Namun apabila itu dilakukan juga, menurut Imam Syafii, maka pengakuan anak kecil itu hukumnya gugur darinya.  

Begitu pula halnya semua pembelian dan penjualan yang dilakukan oleh anak kecil hukumnya mafsukh (tidak sah).     

قَالَ الشَّافِعِيُّ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى: وَمَا أَقَرَّ بِهِ الصَّبِيُّ مِنْ حَدٍّ لِلَّهِ - عَزَّ وَجَلَّ - أَوْ الْآدَمِيِّ أَوْ حَقٍّ فِي مَالِهِ أَوْ غَيْرِهِ فَإِقْرَارُهُ سَاقِطٌ عَنْهُ وَسَوَاءٌ كَانَ الصَّبِيُّ مَأْذُونًا لَهُ فِي التِّجَارَةِ أَذِنَ لَهُ بِهِ أَبُوهُ أَوْ وَلِيُّهُ مَنْ كَانَ أَوْ حَاكِمٌ، وَلَا يَجُوزُ لِلْحَاكِمِ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي التِّجَارَةِ فَإِنْ فَعَلَ فَإِقْرَارُهُ سَاقِطٌ عَنْهُ وَكَذَلِكَ شِرَاؤُهُ وَبَيْعُهُ مَفْسُوخٌ، وَلَوْ أَجَزْت إقْرَارَهُ إذَا أُذِنَ لَهُ فِي التِّجَارَةِ أَجَزْت أَنْ يَأْذَنَ لَهُ أَبُوهُ بِطَلَاقِ امْرَأَتِهِ فَأُلْزِمُهُ أَوْ يَأْمُرُهُ فَيَقْذِفُ رَجُلًا فَأَحُدُّهُ أَوْ يَجْرَحُ فَأَقْتَصُّ مِنْهُ فَكَانَ هَذَا وَمَا يُشْبِهُهُ أَوْلَى أَنْ يَلْزَمَهُ مِنْ إقْرَارِهِ لَوْ أُذِنَ لَهُ فِي التِّجَارَةِ؛ لِأَنَّهُ شَيْءٌ فَعَلَهُ بِأَمْرِ أَبِيهِ، وَأَمْرُ أَبِيهِ فِي التِّجَارَةِ لَيْسَ بِإِذْنٍ بِالْإِقْرَارِ بِعَيْنِهِ، وَلَكِنْ لَا يَلْزَمُهُ شَيْءٌ مِنْ هَذَا مَا يَلْزَمُ الْبَالِغَ بِحَالٍ

Imam Syafii berkata, "Apabila saya membolehkan pengakuan yang diberikan anak kecil jika dia mendapatkan izin berniaga, maka saya membolehkan juga bagi ayahnya untuk mengizinkannya untuk mentalak istrinya, dan itu sudah harus saya berlakukan padanya. Atau saya bolehkan bagi ayahnya untuk mengizinkan si anak kecil untuk menuduh zina seseorang, maka saya jatuhkan had pada dirinya. Atau saya bolehkan bagi ayahnya untuk mengizinkan si anak kecil untuk melukai seseorang, maka saya jatuhkan qishash terhadapnya.  Padahal semua ini dan berbagai hal yang semacam itu jauh lebih harus ditetapkan baginya daripada pengakuannya, apabila memang dia mendapatkan izin untuk berniaga. Karena itu adalah sesuatu yang dia lakukan dengan perintah dari ayahnya. Sedangkan perintah si ayah kepada si anak kecil dalam urusan perniagaan bukanlah izin dalam urusan pengakuan. Karena itu, tidak ada sesuatu apapun yang harus ditetapkan baginya di antara semua itu, seperti harus ditetapkannya hal-hal tersebut bagi orang yang sudah baligh."    

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement