Kamis 28 Jul 2022 06:10 WIB

Sri Mulyani Prediksi Suku Bunga Acuan BI Naik 4,5 Persen

Setiap suku bunga AS naik agresif biasanya diikuti krisis keuangan di negara emerging

Rep: Novita Intan/ Red: Fuji Pratiwi
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kiri) berjabat tangan dengan Secretary of the Treasury Amerika Serikat Janet Yellen dalam pertemuan bilateral yaitu rangkaian Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (FMCBG) G20 di Nusa Dua, Bali, Jumat (15/7/2022). Pemerintah memprediksi Bank Indonesia akan menaikkan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate (BI7DRRR) sebanyak 100 basis poin atau satu persen hingga akhir 2022.
Foto: ANTARA/Nyoman Budhiana
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kiri) berjabat tangan dengan Secretary of the Treasury Amerika Serikat Janet Yellen dalam pertemuan bilateral yaitu rangkaian Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (FMCBG) G20 di Nusa Dua, Bali, Jumat (15/7/2022). Pemerintah memprediksi Bank Indonesia akan menaikkan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate (BI7DRRR) sebanyak 100 basis poin atau satu persen hingga akhir 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pemerintah memprediksi Bank Indonesia akan menaikkan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate (BI7DRRR) sebanyak 100 basis poin atau satu persen hingga akhir 2022. Saat ini suku bunga acuan Bank Indonesia berada level 3,5 persen.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, jika proyeksi tersebut terbukti, suku bunga Bank Indonesia sebesar 4,5 persen. "Kemungkinan ada kenaikan BI rate sebesar 100 bps hingga akhir tahun," ujar Sri Mulyani saat Konferensi Pers APBN Kita Juli 2022, Rabu (27/7/2022).

Baca Juga

Di samping itu, menurutnya langkah agresif The Federal Reserve (The Fed) dalam menaikkan suku bunga acuan untuk menekan laju inflasi yang menembus 9,1 persen jelas akan memengaruhi ekonomi global. "Dampak dari inflasi 9,1 persen pada Juni yang direspons dengan kenaikan suku bunga makin agresif dari The Fed jelas akan mempengaruhi ekonomi global," ucapnya.

Sri Mulyani menuturkan inflasi Amerika Serikat (AS) yang sebelumnya sebesar 8,4 persen dan melonjak ke 9,1 persen menjadi latar belakang The Fed dalam menaikkan suku bunga acuan sebagai langkah pengetatan moneter. Adapun lonjakan inflasi di AS disebabkan oleh kenaikan harga komoditas energi seperti minyak, gas dan mineral serta pangan.

Historis menunjukkan setiap AS menaikkan suku bunga acuan terlebih lagi secara sangat agresif, biasanya diikuti oleh krisis keuangan di negara-negara emerging seperti yang terjadi pada 1974 dan 1980-an.

Maka itu, Sri Mulyani menyebut hal Ini menjadi salah satu risiko yang sedang dipantau oleh berbagai institusi seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dalam melihat kerawanan negara-negara developing dan emerging. Tak hanya itu, volatilitas yang meningkat ini juga menimbulkan potensi penurunan atau pelemahan terhadap kinerja negara-negara di dunia.

Bahkan AS dengan kenaikan suku bunga acuan secara agresif turut berpotensi menghadapi ancaman resesi yang berdasarkan survei Bloomberg memiliki probabilitas resesi sebesar 40 persen.

"Mereka yang dihadapkan pada dilema kenaikan inflasi dan pengetatan moneter yang menyebabkan pelemahan ekonomi, mereka juga dihadapkan kemungkinan resesi," ucap Sri Mulyani.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement