Kamis 28 Jul 2022 01:52 WIB

Polri Sita 56 Unit Kendaraan Terkait Kasus ACT

Pendiri ACT Ahyudin dan Presiden ACT Ibnu Khajar ditetapkan sebagai tersangka.

Mantan Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin melambaikan tangan saat akan memasuki ruangan Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Jumat (15/7/2022).  Ahyudin kembali diperiksa sebagai saksi terkait penyelewengan dana sosial ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 yang terjadi pada 2018 lalu.
Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
Mantan Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin melambaikan tangan saat akan memasuki ruangan Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Jumat (15/7/2022). Ahyudin kembali diperiksa sebagai saksi terkait penyelewengan dana sosial ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 yang terjadi pada 2018 lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri menyita 56 kendaraan. Terdiri atas 44 mobil dan 12 sepeda motor, terkait kasus dugaan tindak pidana penggelapan dana oleh Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT).

"Sementara hari ini telah disita 44 unit mobil dan 12 motor dari General Affair ACT atau Kabag Umum ACT Pak Subhan," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan kepada wartawan di Jakarta, Rabu (27/7/2022).

Baca Juga

Penyitaan tersebut merupakantindak lanjut dari penetapan empat orang pengurus ACT sebagai tersangka kasus penggelapan dan juga tindak pidana pencucian uang (TPPU). Barang bukti tersebut kemudian disimpan di Gedung Wakaf Distribution Center (WDC), Global Wakaf Corpora,di Jalan Serpong Parung Nomor 57 Bogor, Jawa Barat.

"Penyitaan dilakukan siang pukul 13.00 WIB," tambah Ramadhan.

Dalam kasus tersebut, polisi menetapkan pendiri sekaligus mantan presiden ACT Ahyudin dan Presiden ACT Ibnu Khajar sebagai tersangka. Selain itu, tersangka lain ialah Hariyana Hermain, yang merupakan salah satu pembina ACT dan pemangku jabatan tinggi di ACT, termasuk mengurusi keuangan. Selain itu, polisi juga menetapkan Ketua Dewan Pembina ACT Novariandi Imam Akbari (NIA) sebagai tersangka.

Keempat tersangka tersebut diduga telah melakukan penggelapan sisa dana corporate social responsibility (CSR) dari The Boeing Company untuk ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 senilai Rp 34 miliar. Penyalahgunaan dana tersebut digunakan untuk keperluan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, yaitu sekitar Rp 2 miliar untuk pengadaan armada truk, Rp 2,8 miliar untuk program bigfoodbus, serta Rp 8,7 miliar untuk pembangunan pesantren peradaban di Tasikmalaya, Jawa Barat.

Kemudian, dana tersebut juga digunakan untuk Koperasi Syariah 212 senilai kurang lebih Rp 10 miliar, dana talangan CV CUN sebesar Rp 3 miliar, dana talangan PT MBGS sejumlah Rp 7,8 miliar. Sehingga total dana yang digunakan tidak sesuai peruntukannya itu sejumlah Rp 34.573.069.200.

Para pengurus ACT juga menyalahgunakan dana Boeing untuk gaji para pengurus. Selain itu juga, tersangka Ahyudin dan kawan-kawan melakukan pemotongan donasi dana masyarakat sebesar 20 hingga 23 persen. Besaran gaji yang diterima pengurus ACT untuk Ahyudin sebesar Rp 400 juta, Ibnu Khajar senilai Rp 150 juta, Hariyana Hermain sejumlah Rp 50 juta, dan Novaria disebanyak Rp 100 juta.

Penyidik juga mengendus ada upaya pencucian uang lewat pendirian perusahaan-perusahaan cangkang milik ACT. ACT diketahui memiliki 10 perusahaan cangkang yang bergerak di bidang amal dan bisnis. Sepuluh perusahaan tersebut ialah PT Sejahtera Mandiri Indotama, PT Global Wakaf Corpora, PT Insan Madani Investama, dan PT Global Itqon Semesta. Kemudian ada enam perusahaan lain turunan dari PT Global Wakaf Corpora, yakni PT Trihamas Finance Syariah, PT Hidro Perdana Retalindo, PT Agro Wakaf Corpora, PT Trading Wakaf Corpora, PT Digital Wakaf Ventura, dan PT Media Filantropi Global.

Empat tersangka itu disangkakanpasal berlapis berupatindak pidana dan/atau penggelapan dalam jabatan dan/atau tindak pidana informasi dan transaksi elektronik (ITE) dan tindak pidana informasi dan/atau tindak pidana yayasan dan/atau tindak pidana pencucian uang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 KUHP dan Pasal 374 KUHP dan Pasal 45 a ayat (1) juncto Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.

Para tersangka juga dijerat Pasal 170 juncto Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan Pasal 3,4 dan 6 UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencucian Uang, dan Pasal 55 KUHP juncto Pasal 56 KUHP.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement