Rabu 27 Jul 2022 17:58 WIB

Keraton Ngayogyakarta Jadi Representasi Islam-Jawa

Perdais sebagai pintu melestarikan dan mengembangkan Islam dan budaya di DIY.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Anggota DPD RI, Hilmy Muhammad, dalam Workshop Seni dan Budaya Islam di Islamic Centre Masjid Jogokariyan Yogyakarta, Rabu (27/7).
Foto: Dokumen
Anggota DPD RI, Hilmy Muhammad, dalam Workshop Seni dan Budaya Islam di Islamic Centre Masjid Jogokariyan Yogyakarta, Rabu (27/7).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Anggota DPD RI, Hilmy Muhammad mengatakan, Keraton Ngayogyakarta merupakan representasi Islam-Jawa. Beda dari abangan yang mengedepankan tradisi, keraton mengharmoniskan tradisi Jawa dan ajaran Islam, memakmurkan, dan mendakwahkan Islam

Ia menilai, apa yang dilihat hari ini menunjukkan Keraton Ngayogyakarta jadi representasi utama dari Islam-Jawa atau Islam kejawen. Islam kejawen itu bukan Islam abangan, lantaran abangan tradisinya yang lebih dikuatkan dan dipelihara.

"Sedangkan, Islam kejawen justru mengakulturasi tradisi Jawa dan ajaran Islam dan itu direpresentasikan oleh Keraton Ngayogyakarta. Keraton itu mengislamkan Jawa, mendakwahkan Islam kepada masyarakat Jawa," kata Hilmy dalam Workshop Seni dan Budaya Islam di Islamic Centre Masjid Jogokariyan Yogyakarta, Rabu (27/7/2022).

Agenda itu digelar Majelis Ulama Indonesia (MUI) DIY, mengangkat tema Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman dalam Perspektif Islam. Untuk mendukung pelestarian dan pengembangan kebudayaan, MUI disarankan menggunakan sudut pandang Perdais DIY.

Terutama, Perdais DIY tentang Pemeliharaan dan Pengembangan Kebudayaan. Dalam perdais itu ada tujuh objek kebudayaan yang bisa digunakan MUI dan ormas Islam lain sebagai pintu melestarikan dan mengembangkan Islam dan kebudayaan di DIY.

"Ketujuhnya adalah nilai-nilai budaya, pengetahuan dan teknologi, bahasa, adat istiadat, tradisi luhur, benda, dan seni," ujar Gus Hilmy yang merupakan salah satu Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta tersebut.

Menarik jauh ke belakang, Khatib Syuriah PBNU tersebut menyampaikan sejarah panjang Mataram Islam yang memiliki hubungan dengan Kerajaan Demak-Pajang. Mulai dari tanah perdikan Mataram kemudian bertransformasi menjadi satu kerajaan.

"Pecah atas Perjanjian Giyanti sampai berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman," kata Hilmy, yang juga anggota Komisi Fatwa MUI DIY itu.

Dalam workshop yang dipandu oleh KH Muhammad Jazir ASP tersebut, selain Hilmy, hadir pula KRT Rintaiswara dan KPH Kusumo Prasastho. Yang mana, masing-masing narasumber hadir mewakili Kasultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.

KRT Rintaiswara menyampaikan tentang berbagai unsur-unsur keislaman yang ada dalam Keraton Yogyakarta. Tidak cuma bangunan fisik dan tata ruang, tapi ajaran, perilaku, busana, sastra, pengetahuan, dan upacara yang masih ada sampai hari ini.

"Keraton Ngayogyakarta adalah negara kerajaan Jawa-Islam. Apa saja dalam keraton unsurnya selalu Jawa yang dipadukan dengan ajaran Islam rahmatan lil alamin dan juga berakhlakul karimah," ujar abdi dalem Keraton Ngayogyakarta tersebut.

Pada kesempatan tersebut, Ketua MUI DIY, Prof Machasin, turut menyampaikan pesan perdamaian dan memupuk rasa cinta antar sesama baik di Yogyakarta. Ia berharap, semua elemen mampu memberi sumbangsihnya, tidak cuma MUI tapi masyarakat luas.

"Mari bersama-sama melestarikan dan mengembangkan budaya di Yogyakarta," kata Machasin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement