Sabtu 23 Jul 2022 13:28 WIB

Pengamat: Pengendalian BBM Bersubsidi Jangan Dikaitkan dengan Politik Elektabilitas

Selama ini pengendalian BBM subsidi yang dilakukan belum tepat sasaran.

Pengendara kendaraan roda empat menunjukkan aplikasi MyPertamina saat membeli BBM subsidi jenis pertalite di SPBU Pertamina Riau, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Jumat (1/7/2022). PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya PT Pertamina Patra Niaga melakukan uji coba pendaftaran serta pembelian BBM subsidi jenis pertalite dan solar menggunakan situs web atau aplikasi MyPertamina pada kendaraan roda empat di 11 daerah di lima provinsi mulai hari ini (1/7/2022). Foto: Republika/Abdan Syakura
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Pengendara kendaraan roda empat menunjukkan aplikasi MyPertamina saat membeli BBM subsidi jenis pertalite di SPBU Pertamina Riau, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Jumat (1/7/2022). PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya PT Pertamina Patra Niaga melakukan uji coba pendaftaran serta pembelian BBM subsidi jenis pertalite dan solar menggunakan situs web atau aplikasi MyPertamina pada kendaraan roda empat di 11 daerah di lima provinsi mulai hari ini (1/7/2022). Foto: Republika/Abdan Syakura

REPUBLIKA.CO.ID, 

JAKARTA -- Kenaikan harga minyak dunia mengakibatkan Pertamina menaikan harga BBM non subsidi, sehingga berdampak kepada banyak masyarakat yang biasanya mengkonsumsi BBM non subsidi beralih ke BBM subsidi. Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Dr. Fahmy Radhi, MBA mengatakan, pengendalian BBM subsidi ini harus dilakukan oleh Pemerintah dan Pertamina, sebab jika tidak maka anggaran subsidi yang dikeluarkan Pemerintah akan semakin besar.

"Presiden Jokowi sendiri yang meminta agar pengendalian BBM subsidi ini dilakukan. Tujuannya agar subsidi yang diberikan tepat sasaran. Sebab selama ini pengendalian BBM subsidi yang dilakukan belum tepat sasaran," kata Fahmy.

Pertamina memperkirakan penggunaan Pertalite mencapai 28 juta kilo liter (KL). Padahal kuotanya tahun 2022 hanya 23,05 juta KL. Hingga Mei 2022 realisasi Pertalite sudah melebihi kuotanya 23%. Sedangkan untuk Solar subsidi jika tidak dilakukan pembatasan, akan terjadi over kuota sebesar 17,3 juta KL. Padahal kuota subsidi solar yang diberikan sebesar 14,91 juta KL. Sampai dengan YTD Mei 2022, realiasi Solar Subsidi sudah melebihi kuotanya hingga 11%.

 

Guna merespon permintaan Presiden Jokowi tersebut, Kementrian ESDM dan Pertamina berinisiatif untuk melakukan pengendalian BBM subsidi dengan menggunakan aplikasi MyPertamina. Sehingga Fahmy tak melihat adanya motif politik penggunaan MyPertamina untuk pengendalian BBM subsidi. 

"Tidak benar ajuran pengendalian BBM subsidi menggunakan MyPertamina karena motif politik seperti untuk mendukung Erick Thohir untuk menjadi Presiden. Ini murni inisiatif Kementerian ESDM dan Pertamina untuk merespon kemarahan Presiden Jokowi yang melihat subsidi BBM yang besar sekali. Namun respon Pertamina yang cepat itu tak tepat dan tak efektif," kata Fahmy menerangkan. 

Jika Erick menggunakan isu MyPertamina sebagai alat untuk mendongkrak elektabilitasnya, justru dinilai Fahmy salah besar dan bukan langkah yang cerdas. Justru penggunaan MyPertamina ini akan menurunkan elektabilitas Erick Thohir.

"Saya yakin Erick Thohir tak menggunakan isu pengendalian BBM subsidi dengan menggunakan MyPertamina," kata Fahmi. 

Ia berkata, jika MyPertamina dijadikan sarana untuk mendongkrak elektabilitas tentu itu salah besar, justru itu akan menjatuhkan Erick Thohir. "Jika Pertamina menggunakan MyPertamin untuk mendongkrak elektabilitas, seharusnya Erick Thohir marah," kata Fahmy. 

Penggunaan MyPertamina untuk menggendalian penggunaan BBM subsidi dinilai Fahmy tidak efektif dan tidak tepat sasaran. Untuk dapat menggunakan MyPertamina harus memiliki gawai dan menggunakan internet. 

Padahal tak semua konsumen memiliki gawai dan akses internet yang memadai. Jika dipaksakan Fahmy memperkirakan akan banyak masyarakat yang sejatinya membutuhkan subsidi BBM tak bisa memiliki akses karena keterbatasan gawai dan akses internet.

"Pengendalian BBM subsidi dengan MyPertamina tidak efektif. Justru orang kayalah yang akan mendapatkan akses BBM subsidi, padahal target Presiden Jokowi adalah masyarakat miskin. MyPertamina tidak sesuai untuk tujuan pengendalian BBM subsidi yang tepat sasaran," kata Fahmy.

Rencana Kementrian ESDM dan Pertamina untuk menggendalikan penggunaan BBM subsidi dengan menggunakan kriteria mobil di bawah 2.000cc, dinilai Fahmy tak efektif untuk memberikan subsidi kepada masyarakat miskin. Sekarang, kata Fahmi, yang harus disubsidi Pemerintah itu mobilnya atau masyarakat miskinnya. Sebab banyak orang kaya yang memiliki mobil baru dengan cc di bawah 2.000cc. "Sehingga subsidi BBM dengan kreteria mobil dibawah 200cc tidak adil bagi masyrakat miskin. Dan tak tepat sasaran," ucap Fahmy.

Yang lebih tepat untuk menggendalikan penggunaan BBM subsidi menurut Fahmy adalah dengan membuat Perpres kendaraan yang boleh membeli BBM subsidi. Kendaraan tersebut hanya sepeda motor, kendaraan angkutan barang dan mobil angkutan umum. Dengan Kementerian ESDM mengajukan Perpres tersebut dinilai Fahmy efektif dan mudah untuk menggendalikan konsumsi BBM subsidi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement