Sabtu 23 Jul 2022 01:57 WIB

Tak Selalu Untung, Teknologi Kasir Digital Kadang Bikin Peritel Jadi Rugi

Teknologi self-checkout atau pembayaran tanpa kasir membutuhkan biaya yang lebih maha

Rep: Eric Iskandarsjah Z/ Red: Dwi Murdaningsih
Pembeli mengantre di kasir di salah satu pusat penjualan alat-alat dapur.
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Pembeli mengantre di kasir di salah satu pusat penjualan alat-alat dapur.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri ritel terus mengalami kemajuan di bidang otomasi. Dalam beberapa tahun terakhir, industri ritel mulai mengadopsi konsep self-checkout atau pembayaran tanpa kasir. Teknologi ini awalnya dianggap memudahkan, dan lebih efisien, tapi ternyata tidak selalu demikian.

Beberapa swalayan besar di Amerika Serikat (AS) pun sempat mendapatkan iming-iming penekanan biaya operasional lewat penggunaan mesin self-service atau self-checkout.

Baca Juga

Namun, adopsi teknologi baru ini justru menimbulkan masalah baru pula. Dikutip dari CNN, ternyata penggunaan teknologi ini justru berujung pada perusahan yang harus mengeluarkan biaya gaji yang lebih besar untuk staf TI (teknologi informasi).

Sebab, para karyawan TI harus melakukan perawatan dan pemutakhiran data pada mesin pembayaran mandiri tersebut. Perawatan mesin pun tak sederhana. Belum lagi, dalam suatu survei pada 2021 disebutkan bahwa dari 1.000 transaksi yang dilakukan konsumen melalui self-checkout, 67 persen di antaranya mengalami persoalan hingga transaksi menjadi terhambat.

Jika sudah mengalami persoalan, ujung-ujungnya transaksi harus dilakukan dengan bantuan pegawai. Hal itu pun membuat proses tran saksi menjadi lebih lama.

Belum lagi ada potensi konsumen yang berujung membatalkan transaksi. Selain itu, penerapan mesin self-service juga membuka peluang bagi konsumen nakal untuk melakukan pencurian.

Alhasil, mesin yang diperkenalkan pada 1986 itu tak hanya merugikan konsumen, tapi juga membuat pasar swalayan bisa mengalami defisit pendapatan. Salah satu jaringan supermarket di AS yang bernama Big Y memutuskan tak lagi menggunakan mesin self-service pada 2011.

Saat itu, Big Y menyatakan, mesin tersebut sering ber masalah dan membuat konsumen harus menunggu staf untuk membantu. Sosiolog Drew University, Christopher Andrews, tak terkejut dengan beragam penolakan atas mesin tersebut. "Mesin self-checkout ternyata tak mampu memberikan manfaat yang dijanjikan," kata Christopher Andrews.

Penemuan serupa juga disampaikan professor emeritus di University of Leicester, Adrian Beck. Menurut dia, toko ritel dengan komposisi transaksi lewat mesin self-service sebesar 50 persen berpeluang mengalami peningkatan kerugian sebesar 77 persen.

Jumlah itu pun otomatis akan menggelembung jika transaksi self-service lebih dari 50 persen. Menurut dia, salah satu kontributor kerugian terbesar adalah dari celah yang dimanfaatkan oleh konsumen.

Sebab, dengan sistem tersebut, konsumen bisa membeli tanpa melakukan pemindaian. Konsumen juga bisa menukar belanjaan berharga murah dengan barang yang lebih mahal setelah barang berharga lebih murah itu di-input ke dalam sistem pembayaran.

Sejumlah mesin pun telah menerapkan fitur antipencurian atau anti-theft dengan menggunakan sensor berat. Namun, sensor tersebut terkadang kurang akurat. Mesin juga kadangkadang memunculkan berbagai notifikasi sehingga memaksa konsumen kembali mengurai barang belanjaan dan melakukan penghitungan ulang. Hal itu berujung pada antrean yang makin panjang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement