Kamis 21 Jul 2022 20:09 WIB

Guru Besar UGM: Peristiwa Kudatuli Masuk dalam Kejahatan Kemanusiaan

Guru besar hukum pidana dari UGM sebut peristiwa Kudatuli masuk kejahatan kemanusiaan

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Bilal Ramadhan
Ilustrasi Pelanggaran Berat HAM. Guru besar hukum pidana dari UGM sebut peristiwa Kudatuli masuk kejahatan kemanusiaan
Foto: MgIT03
Ilustrasi Pelanggaran Berat HAM. Guru besar hukum pidana dari UGM sebut peristiwa Kudatuli masuk kejahatan kemanusiaan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada, Edward Omar Sharif Hiariej, menilai jika dikaji berdasarkan element of crime, maka peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli) termasuk dalam kejahatan kemanusiaan. Ada empat elemen alasan mengapa peristiwa Kudatuli masuk dalam kategori kejahatan kemanusiaan. Pertama adanya serangan.

"Jelas ada serangan," kata Eddy dalam diskusi publik Memperingati 26 Tahun Peristiwa 27 Juli di Kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta, Kamis (21/7/2022).

Baca Juga

Kemudian, yang kedua adanya populasi penduduk sipil. Dalam peristiwa itu juga terdapat korban hilang. Lalu yang ketiga terjadi secara sistematis. Terakhir adanya pengetahuan terhadap serangan itu.

"Jadi berdasarkan element of crime dari kejahatan terhadap kemanusiaan. Maka saya pastikan masuk dalam kualifikasi kejahatan terhadap kemanusiaan," ujarnya.

Kendati demikian, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) itu mengatakan ada sejumlah halangan yang bakal dihadapi dalam upaya penuntasan peristiwa tersebut. Salah satunya belum dimasukkannya kasus tersebut sebagai kasus pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM.

"Komnas HAM sampai detik ini belum pernah merekomendasikan bahwa kasus 27 Juli itu pelanggaran berat HAM. Jadi, berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 penyelidik itu adalah Komnas HAM," ucapnya.

Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga mengatakan, sejauh ini memang status kasus 27 Juli sebagai pelanggaran HAM berat baru bersifat kajian. Pada 2003, memang ada rekomendasi kepada Komnas HAM menyelesaikan sejumlah kasus dugaan pelanggaran HAM berat, seperti kasus Tanjung Priok, kasus Petrus, hingga kasus DOM Aceh.

“Yang DOM Papua juga belum dilakukan penyelidikan. Begitu pula 27 Juli belum juga melakukan penyelidikan,” kata Sandra.

Menurut dia, penyelidikan pro justitia terhadap 27 Juli belum dibahas lagi oleh Komnas HAM. Namun hal itu bisa berubah jika ada keputusan baru oleh sidang paripurna Komnas HAM.

“Kalau pro justitia ini tidak boleh dilakukan satu komisioner saja, itu putusan sidang paripurna dan tim dilakukan penyelidikan,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement