Rabu 13 Jul 2022 13:37 WIB

Presiden Sri Lanka Kabur ke Maladewa

Rajapaksa seharusnya resmi mundur sebagai presiden per hari ini.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Dwi Murdaningsih
Gotabaya Rajapaksa.
Foto: AP/Andy Buchanan/AFP Pool
Gotabaya Rajapaksa.

REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO – Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa telah meninggalkan negaranya dan bertolak ke Maladewa, Rabu (13/7/2022). Dia seharusnya resmi mundur sebagai presiden per hari ini.

Kepergian Gotabaya ke Maladewa diumumkan Angkatan Udara Sri Lanka. “Berdasarkan ketentuan konstitusi dan atas permintaan pemerintah, Angkatan Udara Sri Lanka hari ini menyediakan pesawat untuk menerbangkan presiden, istri, dan dua pejabat keamanan ke Maladewa,” katanya dalam sebuah pernyataan.

Baca Juga

Pada akhir pekan lalu, ribuan warga Sri Lanka menyerbu dan menggeruduk kediaman resmi Gotabaya. Peristiwa itu menjadi puncak frustrasi warga atas krisis ekonomi yang mencekik negara berpenduduk hampir 22 juta jiwa tersebut. Sebelum penyerbuan berlangsung, Gotabaya dan keluarganya berhasil dievakuasi.

Keberadaan Gotabaya sempat tak diketahui setelah peristiwa penyerbuan. Tak lama berselang setelah kediaman resminya digeruduk, Ketua Parlemen Sri Lanka Mahinda Yapa Abeywardana mengumumkan bahwa Gotabaya akan mundur sebagai presiden pada 13 Juli. “Keputusan untuk mundur pada 13 Juli diambil untuk memastikan penyerahan kekuasaan secara damai. Oleh karena itu, saya meminta masyarakat menghormati hukum dan menjaga perdamaian,” ucapnya.

Pengumuman itu disambut gempita oleh rakyat Sri Lanka. Di ibu kota, Kolombo, sejumlah warga menyulut kembang api untuk merayakan jatuhnya Gotabaya. 

Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe kemudian mengumumkan bahwa dia pun mengundurkan diri dari jabatannya. Hal itu guna membuka jalan bagi pembentukan pemerintahan baru yang mencakup semua partai di negara tersebut.

Sejumlah pemimpin partai oposisi sudah mendesak pengunduran diri Gotabaya dan Wickremesinghe sebelum ada keputusan atau pengumuman yang menyatakan bahwa mereka menanggalkan jabatannya. “Presiden dan perdana menteri harus segera mengundurkan diri. Jika itu tidak terjadi, ketidakstabilan politik akan memburuk,” ujar pemimpin Sri Lanka Freedom Party sekaligus mantan presiden negara tersebut, Maithripala Sirisena.

Sri Lanka sudah dibekap gelombang demonstrasi sejak Maret lalu. Awalnya warga turun ke jalan untuk memprotes pemadaman listrik bergilir yang kian parah di sana. Namun seruan agar presiden mundur sudah muncul sejak unjuk rasa mulai bergulir. Sri Lanka memang tengah menghadapi krisis ekonomi terburuk dalam 70 tahun terakhir. Hal itu diperburuk dengan dampak yang ditimbulkan pandemi Covid-19.

Dari Maret ke bulan-bulan berikutnya, kondisi ekonomi Sri Lanka kian terperosok. Inflasi melambung tinggi dibarengi dengan naiknya harga bahan pokok dan mulai langkanya bahan bakar minyak (BBM). Hal itu pula yang membuat warga Sri Lanka mempertahankan aksi demonstrasinya. Mereka menuntut perbaikan hidup dan reformasi pemerintahan.

Pada Juni lalu, inflasi di Sri Lanka mencapai 54,6 persen. Angka itu diperkirakan bakal menyentuh hingga 70 persen dalam beberapa bulan mendatang. Saat ini Sri Lanka sudah menangguhkan pembayaran utang luar negerinya. BBM pun tak lagi dijual untuk umum karena stok yang tersedia hanya untuk mempertahankan layanan esensial, seperti rumah sakit dan pembangkit listrik.

Sri Lanka sudah kesulitan mengimpor BBM karena utang pembelian minyaknya telah menggunung. Saat ini negara tersebut sedang berusaha memperoleh dana bailout dari Dana Moneter Internasional (IMF) senilai 3 miliar dolar AS. Kolombo pun melakukan penggalangan dana dari sumber multilateral dan bilateral guna mengurangi kekeringan dolar. 

sumber : reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement