Rabu 13 Jul 2022 00:15 WIB

Siasati Kenaikan Harga Cabai dengan Urban Farming

Saat ini 96,47 persen pasokan pangan Kota Bandung masih bergantung pada daerah lain

Rep: Dea Alvi Soraya / Red: Gita Amanda
Siasati kenaikan harga cabai dengan urban farming.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Siasati kenaikan harga cabai dengan urban farming.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Harga sejumlah jenis cabai terus meroket. Di Kota Bandung, tepatnya di Pasar Kosambi, harga cabai rawit menginjak harga Rp 120 ribu per kilogram, sedangkan harga cabai hijau dan cabai gendot mencapai harga Rp 60 ribu per kilogram, sementara cabai rawit masih berada di kisaran Rp 10 ribu per kilogram.

Kenaikan harga cabai, sebagai salah satu komoditas pangan utama, tentu memberikan dampak yang cukup besar bagi masyarakat, termasuk para ibu rumah tangga. Meski begitu, Etti mengaku tidak terlalu memusingkan harga cabai yang semakin mencekik.

Ibu rumah tangga berusia 48 tahun itu mengaku memang tidak terlalu mengkonsumsi terlalu banyak cabai untuk kebutuhan masakan sehari-hari. Terlebih, Etti mengaku memiliki kebun kecilnya sendiri yang membuatnya tidak terlalu terdampak dengan kenaikan harga pasar.

Dia mengatakan, di kebun kecilnya, selain menanam beberapa jenis tanaman cabai, Etty juga memiliki sejumlah tumbuhan lain yang dapat dia manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan memasak setiap hari.

“Biarin aja (harga naik), nanti juga berlalu. Seperti minyak goreng kemarin (harga naik), nanti juga normal lagi,” ujarnya saat dihubungi Republika. 

Saya emang jarang belanja, soalnya nanem (bertanam),” sambungnya. 

Meski begitu dia berharap harga cabai maupun komoditas lain dapat segera kembali normal. Dia juga mengajak masyarakat untuk mencoba menciptakan sendiri ‘kebun kecil’ yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari dan mengurangi kekhawatiran kenaikan harga pasar. 

Sebelumnya, Kepala DKPP Kota Bandung Gin Gin Ginanjar memastikan bahwa Pemerintah Kota Bandung selalu melakukan koordinasi dengan daerah-daerah produsen pangan untuk memastikan kelancaran distribusi pangan ke Kota Bandung. Dia mengakui bahwa saat ini 96,47 persen pasokan pangan Kota Bandung masih bergantung pada daerah-daerah di luar kota Bandung. 

“Kota Bandung sebenarnya sudah mengembangkan program urban farming, melalui program Buruan SAE, dan komoditas cabai sudah menjadi tanaman yang banyak ditanam di rumah-rumah warga, namun memang masih belum banyak,” kata Gin Gin saat ditemui di Pasar Kosambi seusai melakukan pengecekan stok dan harga pangan beberapa waktu lalu. 

“(Urban Farming) ini sebenarnya bisa sangat membantu warga untuk memenuhi kebutuhan dapurnya sehari-hari, sekaligus mengurangi imbas yang dirasakan masyarakat dari kenaikan harga pangan di pasaran,” sambungnya. 

Untuk daging sapi, Gin Gin memastikan bahwa pasokan daging sapi potong baik lokal maupun impor dalam kondisi aman. Meski begitu, dia mengakui adanya kenaikan harga, yang berimbas pada mengurangnya permintaan sapi potong di masyarakat.

“Kalau rata-rata di RPH (rumah potong hewan) normalnya bisa sampai 60-70 ekor per hari tapi sekarang maksimal 40 ekor saja per hari yang dipotong, tapi stok ada, aman. Karena RPH hanya memotong berdasarkan Permintaan saja, selama ada permintaan maka selama itu juga stok di keluarkan atau dipotong,” jelasnya. 

Buruan SAE (Sehat, Alami dan Ekonomis) sendiri merupakan sebuah gerakan pengembangan dari konsep urban farming dan ketahanan pangan di Kota Bandung yang lahir dari inisiasi almarhum mantan Wali Kota Bandung Oded M Danial. Program ini merupakan upaya yang dilakukan Kota Bandung untuk dapat sedikit demi sedikit berdaya dalam pemenuhan kebutuhan pangan, yang selama ini masih bergantung pada wilayah produsen. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement