Selasa 12 Jul 2022 15:28 WIB

Memanusiakan Manusia, Relawan Banyumas Kembalikan 200 ODGJ ke Keluarga

Semakin banyak yang ikut serta untuk membantu para ODGJ jalanan.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Yusuf Assidiq
Para relawan ODGJ Banyumas saat membantu menangani ODGJ di wilayah setempat.
Foto: Dokumen
Para relawan ODGJ Banyumas saat membantu menangani ODGJ di wilayah setempat.

REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Tubuh penuh kotoran, bau menyengat, penampilan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang berkeliaran di jalanan seperti ini membuat mereka kerap dipandang sebelah mata. Orang-orang tersebut dianggap tidak akan bisa sembuh, sehingga tak banyak yang mau menolong mereka.

Padahal kenyataannya, para ODGJ tersebut masih bisa disembuhkan, seperti yang telah dibuktikan oleh kelompok Relawan ODGJ Banyumas. Sekitar lebih dari 200 ODGJ yang mereka temukan di jalan dapat dirawat hingga sembuh dan dikembalikan ke keluarga mereka.

"Kalau keluarga memperlakukan dengan baik, mereka bisa sembuh," ujar Sapto atau yang biasa dipanggil Saprol, Ketua Relawan ODGJ Banyumas.

Saprol mengakui, tidak semua ODGJ sembuh total, tapi kasih sayang dari keluarga dapat membantu mereka untuk sembuh. Pria berusia 31 tahun ini dan beberapa rekannya menginisiasi kelompok relawan ini karena rasa prihatin melihat ODGJ yang berkeliaran tak terurus di jalanan.

Awalnya Saprol sering membantu memandikan dan memberi makan ODGJ di pinggir jalan pada 2017. Saat itu ia kesulitan untuk menampung mereka, hanya memandikan dan memberi makan, kemudian dilepas kembali ke jalanan.

Kemudian ia kerap kali berbagi informasi orang hilang di media sosial Facebook dan membuahkan hasil. Dari pengalaman tersebut ia tergugah untuk mempertemukan para ODGJ di jalanan dengan keluarga mereka.

"Sudah banyak yang berhasil bertemu keluarganya. Sejak dibentuk pada 2020, sudah lebih dari 200 ODGJ bisa bertemu keluarga mereka," ungkapnya. Kebanyakan dari mereka berasal dari luar Banyumas. Wilayah asal paling jauh ODGJ yang pernah para relawan temukan adalah dari Lampung.

Kegiatan yang sering dilakukan oleh Sapto ini rupanya menggugah banyak kalangan. Seiring berjalannya waktu semakin banyak yang ikut serta untuk membantu para ODGJ jalanan. Salah satunya adalah Sri Heryati yang kini menjadi pembina Relawan ODGJ.

Sebagai ASN di Pemkab Banyumas, Cici, sapaan akrabnya, menjadi orang yang gencar menyuarakan aspirasi para Relawan ODGJ. Para relawan yang dulu hanya bisa memandikan dan memberi makan, selanjutnya dapat bekerja sama dengan Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (Dinsospermades) agar dapat menggunakan rumah singgah bagi para ODGJ yang ditemukan di jalan.

Resmi didirikan pada 21 Desember 2020, Relawan ODGJ saat ini tengah mengurus badan hukum agar dapat menjadi yayasan. "Ini dirasa penting untuk kami melangkah," kata Cici.

Badan hukum dianggap penting agar para relawan bisa mendapatkan donasi atau bantuan untuk beroperasi. Karena selama ini, mereka hanya mengandalkan dana pribadi dan kendaraan yang dipinjamkan oleh PMI Banyumas atau sejumlah anggota dewan.

Untuk konsumsi atau operasional lainnya, mereka tidak kesulitan, karena masih banyak yang mau membantu, meski mereka tidak membuka donasi. Akan tetapi, kendaraan untuk menjemput para ODGJ itu yang dirasa mereka harus dimiliki sendiri.

"Karena sering banget kita dapat laporan ada ODGJ mengamuk, yang seperti itu yang harus segera dievakuasi. Kalau tengah malam kan repot harus cari pinjeman mobil," ujarnya.

Kendala lainnya adalah proses pembuatan kartu BPJS Kesehatan untuk para ODGJ berobat yang dinilai terlalu lama. Biasanya para ODGJ jalanan yang ditemukan akan dicarikan identitas aslinya atau dibuatkan identitas baru dan kartu BPJS Kesehatan Penerima Bantuan Iuran (PBI).

Hal ini dimaksudkan agar setelah kembali bersama keluarga mereka, para ODGJ akan tetap dapat berobat tanpa harus kesulitan biaya. Akan tetapi, proses pembuatannya memakan waktu yang sangat lama hingga berbulan-bulan.

Sementara para ODGJ memerlukan bantuan medis yang cepat, dan mereka tidak bisa berlama-lama di rumah singgah yang kapasitasnya kecil. "Memang kuota BPJS untuk ODGJ ditambah, tapi kalau bisa proses pembuatan BPJS bisa lebih cepat. Kita juga berharap ada kendaraan dan kuota panti bisa ditambah," kata Saprol.

Saat ini rumah singgah yang tersedia hanya memiliki kapasitas empat kamar, sedangkan rumah singgah dengan kapasitas 12 kamar masih dalam proses pembangunan.

"Syukur-syukur kalau keluarga mereka mau menerima kembali, kalau tidak diterima sama keluarga mereka ya jadinya harus masuk panti," imbuh Cici. Untuk itu ia bersyukur, hampir seluruh ODGJ yang relawan selamatkan, berhasil bersatu kembali dengan keluarga mereka.

Pertemuan ODGJ dan keluarga

Berbagai kisah pertemuan ODGJ dan keluarga mereka menjadi kesan yang teramat mendalam bagi Saprol dan Cici. Para ODGJ yang memerlukan bantuan medis biasanya akan dirawat sekitar 12-14 hari di rumah sakit.

Dalam kurun waktu tersebut, Relawan ODGJ akan berupaya mencari keluarga ODGJ dengan bantuan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dindukcapil) dan media sosial. Biasanya dalam kurun waktu dua minggu, keluarga ODGJ dapat ditemukan.

Awalnya, tidak semua keluarga mau menerima, sehingga para relawan akan memberikan edukasi kepada keluarga mengenai cara menangani para ODGJ. Cerita yang paling berkesan bagi Cici ketika menemukan ODGJ berusia awal 40 tahunan yang ternyata telah dicari-cari selama 23 tahun oleh keluarganya.

Ketika ditemukan, ODGJ ini dalam keadaan sangat kumuh dan telanjang di jalanan. Kemudian para relawan memandikan dan menyebarkan informasi mengenai ODGJ ini di media sosial. Sekitar dua bulan kemudian, keluarganya ditemukan berada di Karawang.

"Dulu waktu hilang umurnya 18 tahun, dia masih ingat seluruh keluarganya waktu ketemu kembali. Sekarang sangat disayang sama keluarganya, setiap weekend diajak jalan-jalan," kata Cici senang.

Akan tetapi tidak semua cerita ODGJ berakhir bahagia. Ada seorang kakek yang diselamatkan dari kurungan selama 30 tahun oleh keluarganya sendiri. Mirisnya, kakek tersebut dikurung di kamar mandi yang tertutup rapat dan hanya ada lubang kecil untuk memberikan makanan.

Saat ditemukan, kakek ini tidur di bawah kotorannya sendiri, dan sulit untuk berjalan karena sudah terkurung sangat lama. Bahkan menurut Cici, kakek tersebut sebenarnya bukan ODGJ. Si kakek dikurung karena dulunya sering meresahkan keluarga dan orang sekitar karena suka mencuri.

Setelah diselamatkan dan diobati, beberapa bulan kemudian kakek tersebut meninggal karena usia tua. Ada lagi seorang ibu yang tinggal sendirian di sebuah rumah kosong dengan berbagai ternak. Sementara keluarganya tinggal di rumah sebelah.

Ibu tersebut kehilangan kewarasannya ketika keluarga mereka terlilit hutang akibat anaknya. "Waktu saya kesana saya suruh keluarganya membersihkan rumah itu karena sungguh nggak layak untuk manusia. Itu prinsip kita: memanusiakan manusia," katanya.

Meskipun di Banyumas masih banyak ODGJ yang dipasung, tapi masih sedikit yang bisa diselamatkan oleh relawan. Sebabnya, keluarga dan warga banyak yang menutupi hal tersebut karena dinilai aib.

Sedangkan di masa pandemi, kebanyakan ODGJ yang dibantu oleh relawan adalah yang berada di rumah-rumah. Umumnya mereka stress akibat kesulitan ekonomi selama pandemi, sedangkan keluarga mereka berasal dari kalangan tidak mampu dan kurang edukasi mengenai kesehatan mental.

"Saat ini malah banyaknya yang rumahan, yang kambuhan. Ada yang kambuh karena ibu dan suaminya ribut, saya datang malam-malam saya peluk dan tenangkan," tegas Cici.

Ia berharap masyarakat akan lebih sadar mengenai kesehatan mental dan menganggap hal ini bukanlah sesuatu yang memalukan. Terlebih lagi, pengalamannya membuktikan bahwa kasih sayang dapat menyembuhkan mereka.

"Mereka perlu diberi perhatian khusus dan diberi kasih sayang oleh keluarga," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement