Senin 11 Jul 2022 21:55 WIB

Politikus PSI Ragu Pemisahan Pria-Wanita di Angkot Cegah Pelecehan

Kebijakan pemisahan pria-wanita tidak memikirkan ruang angkot yang sempit.

Ilustrasi. Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI Eneng Malianasari mengatakan, kebijakan Dinas Perhubungan DKI Jakarta memisahkan tempat duduk pria dan wanita di angkot tidak memikirkan ruang angkot yang sempit.
Foto: ANTARA/ADITYA PRADANA PUTRA
Ilustrasi. Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI Eneng Malianasari mengatakan, kebijakan Dinas Perhubungan DKI Jakarta memisahkan tempat duduk pria dan wanita di angkot tidak memikirkan ruang angkot yang sempit.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI Eneng Malianasari meragukan kebijakan Dinas Perhubungan DKI Jakarta memisahkan tempat duduk pria dan wanita di angkot bisa efektif mencegah tindakan pelecehan. Sebab, Dishub dalam melakukan kebijakan ini tidak memikirkan ruang angkot yang sempit untuk membagi menjadi ruang khusus wanita dan ruang khusus pria.

"Angkot kan berbeda dengan TransJakarta atau Commuterline yang memiliki ruang luas," kata Eneng di Jakarta, Senin (11/7/2022).

Baca Juga

Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta ini menerangkan problem yang terjadi juga bukan hanya soal implementasi dari kebijakan tersebut, tapi bagaimana pengawasan dan penertiban yang dilakukan aparat penegak hukum agar tidak terulang lagi kejadian pelecehan tersebut. "Pemerintah bersama semua stakeholder baik itu institusi Komnas HAM, Komnas Anak dan Perempuan, juga LSM lainnya untuk duduk bersama membahas strategi berkepanjangan agar tidak lagi terjadi pelecehan di transportasi umum, terutama angkot. Dengan duduk bersama, diharap melahirkan solusi jitu menanggulangi hal tercela tersebut terjadi lagi," kata Eneng.

Menurut dia, maraknya tingkat kekerasan dan pelecehan seksual tentu menjadi perhatian semua pihak, pemerintah perlu juga merumuskan sistem untuk menciptakan rasa aman dan kenyamanan warga saat berada dalam transportasi umum. "Menurut Amnesty International bahwa pelecehan dan kekerasan seksual termasuk kasus HAM berat. Jadi tindakan kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual harus ditangani secara sistematis terorganisir agar bisa memutus mata rantai dan selanjutnya mencegah terjadinya kembali pelecehan seksual. Kewajiban masyarakat melaporkan pelaku pelecehan seksual juga telah diatur secara hukum. Dalam UU no. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang sudah disahkan pada tanggal 12 April 2022 lalu," ucapnya.

Aparat penegak hukum juga, tambah dia, harus memberi hukuman seberat-beratnya pada pelaku pelecehan atau kekerasan seksual sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Dalam Pasal 5 UU TPKS mengatur bahwa pelaku perbuatan seksual nonfisik dapat dipidana hingga 9 bulan penjara.Tak hanya itu, UU TPKS juga mengatur pelecehan seksual fisik sebagai salah satu tindak pidana kekerasan seksual. 

Menurut Pasal 6 UU TPKS, pelaku pelecehan seksual fisik dapat dipidana hingga 12 tahun penjara dan denda paling banyak Rp300 juta.

Sebelumnya, Dinas Perhubungan DKI Jakarta memisahkan tempat duduk khusus pria dan wanita dalam satu angkot untuk mencegah kasus pelecehan seksual. "Kami akan melakukan pengaturan pemisahan tempat duduk bagi penumpang di angkot," kata Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo di Jakarta, Senin.

Syafrin menjelaskan, nantinya penumpang wanita akan duduk di barisan tempat duduk sebelah kiri dan penumpang pria di sebelah kanan. Namun, ia belum merinci waktu pemberlakuan pemisahan penumpang tersebut akan dilakukan.

Ia berharap pemisahan itu mencegah kasus dugaan pelecehan seksual yang beberapa waktu lalu terjadi. Dinas Perhubungan DKI saat ini menyatakan seluruh armada angkot sudah tanpa kaca film sehingga lebih transparan.

Sementara itu, untuk angkutan umum yang telah terintegrasi dalam program Jaklingko melalui PT TransJakarta seluruhnya telah terpasang kamera pengawas atau CCTV.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement