Kamis 04 Jul 2019 16:57 WIB

Sampah Impor, Bukti Lemahnya Wibawa Kita

Negara sepatutnya menolak dan bahkan mencabut izin impor sampah demi wibawa RI

Warga memilah tumpukan sampah plastik impor di halaman rumahnya di Desa Bangun di Mojokerto, Jawa Timur, Rabu (19/6/2019).
Foto: Antara/Zabur Karuru
Warga memilah tumpukan sampah plastik impor di halaman rumahnya di Desa Bangun di Mojokerto, Jawa Timur, Rabu (19/6/2019).

Negara lain mungkin bangga bisa ekspor sampah sedangkan Indonesia meski tidak bisa ekspor seharusnya jangan mau jadi TPA (Tempat Pembuangan Akhir) negara-negara maju. Meski alasan sampah bisa didaur ulang dan dimanfaatkan kembali, jangan sampai menjadi legitimasi impor sampah masuk Indonesia. Sampah lokal ditambah persoalannya saja banyak, apakah kurang dalam negeri Indonesia sehingga impor?

Persoalan sampah di Indonesia sebenarnya masih belum beres, diantaranya kesadaran buang sampah pada tempatnya masih rendah, sampah di laut dan sungai masih terlihat, bahkan undang-undang buang sampah pada waktu tertentu baru sekedar teori, teknisnya di lapangan tidak ada atau sangat sedikit yang kena denda atau penjara gara-gara buang sampah bukan pada waktu dan tempatnya. Terbaru, seruan belanja tanpa plastik untuk mengurangi krisis polusi sampah. 

Dengan persoalan sampah lokal, seharusnya Indonesia tidak impor sampah. Hal ini diungkapkan Direktur Eksekutif Walhi, dalam jumpa pers di kantor Walhi Jakarta, Selasa, 25/6, Nur Hidayati bahwa sangat heran karena menangani sampah hasil domestik saja Indonesia belum mampu sudah nekad impor sampah dari negara lain. Dia juga menambahkan sebenarnya sampah impor di negara asalnya tidak boleh dikirim keluar negeri dan harus diolah di negara asal. Tapi, karena pengolahan makin mahal, maka dikirim ke luar negeri. 

Persoalan sampah impor tidak hanya dilihat dari banyaknya kapasitasnya yang masuk yakni sedikitnya 300 kontainer setiap harinya menuju ke Jawa Timur. (iNews.id,19/6/2019). Namun, ada kontainer impor sampah bermasalah. Tidak hanya Jawa Timur, di Batam kepulauan Riau juga mengalami hal serupa ditemukan 65 kontainer impor bermasalah. (Kumparan.com,16/6/2019)

Menyikapi Sampah Impor dan Impor Sampah

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyiapkan sejumlah langkah jangka pendek dan panjang untuk mengatasi persoalan sampah impor atau limbah B3 secara ilegal. Jangka pendek pemerintah akan melakukan re-ekspor, meningkatkan koordinasi dengan Kemendag tentang kebutuhan impor kertas bekas atau material, dan meningkatkan kordinasi pengawasan dengan Kementerian Keuangan diwakili Ditjen Bea Cukai.

Sedangkan jangka panjang KLHK mengusulkan perubahan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 31 tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun. Selain itu, mengusulkan pergeseran kertas dari jalur hijau menjadi jalur merah Bea Cukai apabila jumlah sampah impor sangat besar dan akan membangun mekanisme penegakan hukum jika terbukti limbah B3. Pelaku dapat dijerat dengan UU No.18 Tahun 2018 tentang pengelolaan sampah dapat terancam pidana sebagaimana pasal 39 ayat (1) dan (2) dengan hukuman paling sedikit 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda 100 juta sampai 5 miliar. (Kumparan.com)

Demikianlah persoalan sampah impor yang sempat heboh pemberitaannya beberapa pekan yang lalu. Persoalan sampah lokal yang belum beres ditambah lagi maraknya sampah impor sungguh membuktikan negara Indonesia lemah baik dalam maupun luar.

Indonesia di lokal lemah wibawanya terhadap para pengusaha/perusahaan yang mengordernya apalagi adanya impor sampah ilegal. Di luar pun Indonesia lemah posisinya dalam kancah politik dan ekonomi Internasional, yakni mau dijadikannya TPA negara maju. Padahal, sebagian negara lain Asia Tenggara pun sudah mulai menyetop impor sampah.

Oleh karena itu, terhadap impor sampah seharusnya Indonesia tegas menolaknya, bisa dengan mencabut izin impor. Impor sampah tidak perlu karena sampah lokal pun masih bisa diberdayakan. Bahkan dengan kekayaan SDA yang melimpah Indonesia seharusnya tidak kekurangan sehingga menjadikan sampah sebagai komoditi. 

Indonesia mayoritas muslim seharusnya bisa membedakan sampah yang terkategori najis, haram, bahkan mudharat atau berbahaya sehingga sampah bisa ditangani sesuai ajaran Islam. 

Wallahua’lam.

Pengirim: Rahmi Surainah, M.Pd, warga Kubar Kaltim

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement