Kamis 11 Apr 2019 13:48 WIB

Politisasi Agama dan Ulama dalam Tahun Politik

Perlu disadari saat ini terjadi politisasi agama dan ulama dalam tahun politik

Survei Pemilu 2019 (Ilustrasi)
Foto: Republika TV/Surya Dinata
Survei Pemilu 2019 (Ilustrasi)

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin menyatakan bahwa ketika agama dijadikan ideologi yang kuat dan digunakan untuk politik, sah dan boleh. Tetapi, ketika agama dijadikan alat legitimasi politik ini jadi masalah.

Bahkan beliau menambahi, suatu hal yang wajar kalau pola pikir kita yang keliru digunakan pihak tertentu untuk melegitimasi politik. Ketika agama dijadikan simbol, itu akan berbahaya. 

Baca Juga

Fakta menunjukkan bahwa politisi Islam dalam ranah demokrasi tidak sungguh-sungguh menggunakan Islam sebagai standar. Para politisi Islam cenderung pragmatis yang minus visi dan ideologis dalam sistem demokrasi. 

Dilihat dari deal-deal politik yang mereka lakukan dengan parpolnya untuk kepentingan. Terjadilah transaksi-transaksi politik yang  akhirnya, tidak ada teman abadi dalam politik. Tetapi yang ada kepentingan abadi. Menjadi wajar jika negara kacau karena diatur oleh orang-orang yang tidak kapabel dan hanya mementingkan kepentingannya sendiri.

Sementara ulama juga rentan masuk dalam jebakan penguasa dan dijadikan sebagai legitimasi kebijakan. Hal ini harus diwaspadai oleh umat Islam yang menjadi basis massa para ulama itu. Jika umat dan ulama terjebak dalam jebakan penguasa, maka mereka akan menjadi korban. Bukan hanya mereka, tetapi juga negeri ini. Karena mereka merupakan tulang punggung Indonesia. 

Maka ulama tidak boleh menjadi stempel kekuasaan yang buruk dan bertentangan dengan Islam. Tidak boleh menjadi alat penguasa untuk memecah-belah umat. Tidak menggadaikan agamanya untuk kepentingan diri sendiri dan penguasa jahat. 

Nabi saw menyatakan, “Janganlah kalian mendekati pintu penguasa karena ia benar-benar menjadi berat dan menghinakan” ( H.R ath-Thabarani dan ad-Dailami). Bahkan Imam Ja’far ash-Shadiq ra, juga menyatakan, “Para fuqaha’ adalah orang-orang amanah [di mata] Rasul. Jika kalian melihat Fuqaha’ telah condong kepada para penguasa, maka curigailah mereka.”

Karena itu pada masala lalu para penguasa itulah yang mendatangi para ulama, bukan ulama mendatangi istana mereka. Ini juga yang menunjukkan akhlak dan adab mereka kepada para ulama yang merupakan pewaris Nabi saw, dan orang-orang yang dipercaya Rasul, menjadi penyambung lidah mereka. 

Harus disadari bahwa fungsi ulama salah satunya ialah melakukan muhasabah lil hukam. Muhasabah itu adalah kewajiban syariah. Dibangun berdasarkan kaidah dan hukum syariah tentang amar ma’ruf nahi mungkar. Bahkan lahir dari cinta. Sebagaimana dalam riwayat Imam al-Hakim, Nabi saw menyatakan, “Penghulu para syuhada adalah Hamzah dan siapa saja yang berdiri di hadapan penguasa zalim, lalu menasihati penguasa tersebut, kemudian penguasa itu membunuh dirinya. 

Karena amar ma’ruf nahi mungkar ini membutuhkan ilmu, maka tugas ini banyak diemban oleh para ulama. Apalagi para ulama hakikatnya orang yang hanya takut kepada Allah. Maka mereka selalu menjadi tokoh terdepan dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar, termasuk muhasabah terhadap para penguasa.

Pengirim: Rindyanti Septiana S.Hi, Pegiat Literasi Islam & Kajian Islam Politik Medan

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement