Senin 08 Apr 2019 14:19 WIB

Biaya Pemilu Bikin Pilu

Biaya Pemilu hingga Rp 25 triliun membuat pilu bila melihat kondisi rakyat saat ini

Sejumlah pelari bersiap berlari dalam lomba lari Pemilu Run 2019 di parkir timur kompleks Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan, Jakarta, Ahad (7/4/2019).
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Sejumlah pelari bersiap berlari dalam lomba lari Pemilu Run 2019 di parkir timur kompleks Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan, Jakarta, Ahad (7/4/2019).

Pesta demokrasi sebentar lagi. Rakyat akan kembali memilih calon pemimpin negeri tercinta ini untuk lima tahun ke depan. Pelaksanaanya pun menelan biaya yang fantastis. Berbagai pihak menyebutkan biaya yang dikeluarkan untuk Pemilu 2019 ini mencapai Rp 25 triliun, sehingga amat disayangkan bila masyarakat tidak memanfaatkan kesempatan tersebut.

Jumlah tersebut tentu jauh berbeda dengan Pemilu sebelumnya, karena anggaran pemilihan umum (pemilu) tahun 2019 ini mengalami kenaikan hingga 61 persen dibanding anggaran pemilu pada 2014 lalu yang membutuhkan anggaran Rp 15,62 triliun.

Baca Juga

Sungguh jumlah yang luar biasa yang mesti dikeluarkan dalam rangka merayakan pesta demokrasi yang tiap lima tahun sekali dilaksanakan. Padahal, di sisi lain kondisi negeri ini sedang mengalami keterpurukan keuangan yang akut, mengingatposisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir kuartal IV-2018 tercatat 376,8 miliar dolar AS atau sekitar Rp 5.275,2 triliun (kurs Rp 14 ribu per dolar AS).

Hal tersebut sangat miris pula, jika melihat keadaan rakyat yang masih terpuruk, baik dari segi pendidikan, perekonomian dan berbagai masalah lainnya yang melanda penduduk negeri ini.  Selain itu, pesta lima tahun sakali tersebut seolah tak menggambarkan bagaimana kondisi dalam negeri yang telah pincang.

Tengok saja angka kemiskinan di negeri ini yang konon katanya telah menurun. Tapi, di sisi lain masih bayak jumlah pengangguran, karena kurangnya lapangan kerja. Ditambah lagi rakyat mesti bersaing  dalam memperoleh pekerjaan dengan adanya tenaga kerja asing, padahal itu di negeri sendiri.

Belum lagi para petani harus bersaing dengan banyaknya produk impor yang membanjiri pasar dalam negeri. Begitu pun para pengusaha dalam negeri yang kelas teri, tak sedikit gulung tikar, karena tak mampu bersaing dengan banyaknya produk impor yang menggempur negeri ini. Jika telah seperti itu, benarkah angka kemiskinan di negeri ini menurun?

Di samping itu, bila melihat kondisi dalam negeri yang kian semrawut, mulai dari hukum yang pincang, sumber daya alam yang telah tergadai, utang makin bertumpuk dan berbagai masalah lain yang tak terhitung jumlahnya. Sementara di lain pihak penguasa masih dapat melaksanakan pesta demokrasi yang menyedot banyak anggaran.Terlebih jika harus menggunakan dana yang berasal dari rakyat di tengah kondisi dalam negeri yang tidak stabil.

Lain halnya pemilihan pemimpin di dalam institusi Islam yang berbanding terbalik dengan pemilihan dalam sistem ini (kapitalisme). Karena pemilihan dalam sistem Islam tidak memerlukan waktu yang lama, terlebih biaya yang banyak.

Sebab, kekuasaan bukanlah sesuatu yang menjadi rebutan, mengingat memiliki pertanggungjawaban yang sangat besar di hadapan Allah kelak. Sehingga pemilihan tersebut benar-benar atas asas ketakwaan dalam rangka meraih rida Allah semata, bukan yang lain.

Pengirim: Fitri Suryani, SPd, Guru SMA Negeri di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement